Sepanjang Periode Januari–September 2025, MDKA dan MBMA Cetak Pencapaian Operasional — Inilah Analisisnya

Di tengah ketidakpastian harga komoditas global, kinerja dua emiten tambang besar Tanah Air — PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) — justru menunjukkan dinamika menarik sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2025 (9M25).

Jika pada awal tahun investor masih mempertanyakan prospek sektor tambang akibat turunnya harga nikel dan fluktuasi harga tembaga, kini laporan kinerja kuartal ketiga memberi warna baru: emas menjadi pilar utama pertumbuhan, sementara sektor nikel dan tembaga masih bergulat dengan efisiensi dan arah strategi baru.

Laporan operasional terbaru MDKA dan MBMA [lihat tabel sumber: MDKA & MBMA 3Q25 Quarterly Activities Report] mengungkapkan bahwa secara umum, seluruh komoditas mencatatkan peningkatan volume produksi secara kuartalan (QoQ) dan kenaikan volume penjualan pada kuartal ketiga 2025. Namun, di sisi lain, secara tahunan (YoY), beberapa komoditas seperti tembaga dan nikel masih belum kembali ke level produksi tahun lalu.

Menariknya, jika kita cermati lebih dalam, komposisi pendapatan grup Merdeka kini mulai bergeser — dari dominasi nikel pada tahun sebelumnya, menjadi kontribusi yang lebih besar dari emas dan limonite pada tahun ini.


1. Emas Menjadi Pilar Baru Pertumbuhan

Sepanjang 9M25, produksi emas MDKA mencapai 75.962 oz, sedikit menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 80.043 oz. Penurunan 5% ini terlihat kecil, namun justru tertutupi oleh kenaikan harga jual rata-rata (average selling price / ASP) yang cukup signifikan, yakni dari US$2.260/oz menjadi US$3.044/oz, atau naik sekitar 35% YoY.

Dalam bahasa sederhana, kenaikan harga jual mampu menutupi bahkan melampaui dampak penurunan produksi. Jika diibaratkan seperti toko yang menjual lebih sedikit barang namun dengan harga yang lebih tinggi, maka secara total pendapatan toko itu tetap meningkat. Hal yang sama terjadi pada segmen emas MDKA.

Secara kuartalan, 3Q25 juga menunjukkan performa yang sehat. Produksi emas naik 8,7% QoQ menjadi 25.338 oz, sementara penjualan naik signifikan 30% QoQ menjadi 29.629 oz. Kenaikan penjualan yang lebih tinggi dari produksi menunjukkan bahwa perusahaan juga melakukan optimalisasi inventory (persediaan), yang biasanya dilakukan ketika harga emas sedang berada di level tinggi.

Lebih menarik lagi, cash margin emas — yaitu selisih antara harga jual dan biaya tunai produksi per ons — melonjak dari US$1.224/oz menjadi US$1.805/oz, naik hampir 48% YoY.
Kenaikan margin ini menandakan bahwa setiap ons emas yang dijual kini memberikan keuntungan lebih besar bagi perusahaan, meskipun volume produksinya sedikit turun.

Dari perspektif investor, ini merupakan sinyal positif: harga emas yang tinggi memberikan leverage besar terhadap profitabilitas MDKA. Selama harga emas bertahan di atas US$3.000/oz, MDKA berpotensi mencetak margin yang kuat hingga akhir tahun.


2. Tembaga: Volume Tertekan, Namun Margin Membaik

Berbeda dengan emas, segmen tembaga (copper) belum menunjukkan pemulihan yang berarti.
Sepanjang 9M25, produksi tembaga mencapai 7.463 ton, turun sekitar 29% dibandingkan 9M24 yang sebesar 10.483 ton. Penjualan tembaga juga turun signifikan sebesar 36% YoY menjadi 7.274 ton.

Namun, penurunan ini tidak sepenuhnya negatif. Harga jual rata-rata (ASP) tembaga naik tipis dari US$4,1/lb menjadi US$4,2/lb, menunjukkan bahwa permintaan global masih cukup stabil meskipun volume produksi dalam negeri menurun.

Yang menarik adalah sisi efisiensinya. Biaya tunai (cash cost) tembaga turun dari US$3,0/lb menjadi US$2,9/lb, sementara cash margin naik dari US$1,1/lb menjadi US$1,3/lb.
Artinya, meskipun volume turun, efisiensi biaya berhasil membuat margin tetap tumbuh sekitar 21% YoY.

Dengan kata lain, MDKA kini fokus bukan hanya pada seberapa banyak tembaga yang diproduksi, tetapi seberapa efisien proses produksinya.
Pendekatan seperti ini umum dilakukan ketika pasar global komoditas sedang tidak terlalu bergairah — perusahaan memilih menjaga profitabilitas daripada memaksakan ekspansi volume.


3. Limonite: Konsistensi yang Mulai Menonjol

Bagi banyak investor ritel, nama limonite mungkin belum terlalu familiar. Padahal, komoditas ini kini menjadi bagian penting dari rantai pasokan nikel dan baterai listrik.

Limonite adalah jenis bijih nikel kadar rendah (low-grade nickel ore) yang mengandung sekitar 0,8–1,5% nikel, biasanya digunakan untuk bahan baku NPI (Nickel Pig Iron) atau proses HPAL (High Pressure Acid Leach) untuk menghasilkan nikel sulfat — bahan penting baterai kendaraan listrik.

Pada 9M25, produksi limonite MBMA naik 48% YoY menjadi 9,9 juta wmt, dan penjualannya juga naik 27% YoY menjadi 8,9 juta wmt.
Meskipun harga jual rata-rata sedikit turun dari US$15,6 menjadi US$14,8 per wmt, cash cost juga menurun dari US$9,5 menjadi US$9,3 per wmt, sehingga cash margin tetap naik sekitar 10% YoY.

Dalam logika sederhana, walaupun harga jual turun sedikit, karena biaya produksi turun lebih cepat, margin keuntungan tetap meningkat.

Limonite mungkin bukan penyumbang pendapatan terbesar saat ini, tetapi segmen ini penting karena menjadi komponen stabil dan efisien di portofolio produksi MBMA, terutama ketika harga nikel sedang lemah.
Produksi yang konsisten dan margin yang sehat membuat limonite seperti “penopang dasar” di tengah fluktuasi segmen lain.


4. NPI: Volume Turun, Tapi Margin Membaik

NPI (Nickel Pig Iron) merupakan produk antara dari bijih nikel yang digunakan dalam industri baja tahan karat (stainless steel). MBMA mencatat bahwa produksi NPI turun 17% YoY menjadi 52.864 ton, sejalan dengan turunnya penjualan sebesar 14% YoY menjadi 52.864 ton.

Namun menariknya, cash cost per ton justru turun 8% YoY menjadi US$9.575/t, dan cash margin per ton melonjak 64% menjadi US$1.866/t.
Dengan kata lain, walaupun volume produksi turun, efisiensi operasional meningkat tajam — membuat profitabilitas per unit naik signifikan.

Fenomena seperti ini sering disebut sebagai margin defense strategy, yaitu upaya mempertahankan profitabilitas di tengah tekanan volume. MBMA tampaknya berhasil mengelola biaya lebih baik, entah melalui efisiensi energi, perbaikan yield recovery, atau renegosiasi kontrak bahan baku.

Namun tetap, secara agregat pendapatan dari NPI tetap menurun akibat volume yang lebih kecil. Jika tren ini berlanjut tanpa peningkatan volume di 4Q25, maka kontribusi NPI terhadap total pendapatan grup bisa terus menurun.


BACA JUGA : ANALISA FUNDAMENTAL KEUANGAN SAHAM MTEL TERBARU Q3 DI TAHUN 2025



5. Nickel Matte: Segmen yang “Tertidur” Sementara

Segmen nickel matte adalah salah satu yang paling terpukul di laporan ini.
Produksi turun drastis dari 38.422 ton pada 9M24 menjadi hanya 9.525 ton pada 9M25 (−75% YoY). Penjualan juga anjlok dari 40.400 ton menjadi 10.754 ton (−73% YoY).

Penyebab utamanya adalah dihentikannya produksi sejak kuartal pertama 2025 akibat margin yang menipis.
Dalam industri tambang, menghentikan operasi bukan berarti kegagalan — kadang justru langkah rasional untuk menghindari kerugian lebih besar saat harga jual di bawah biaya produksi.

Menariknya, MBMA mengonfirmasi bahwa mereka akan memulai kembali produksi nickel matte pada 4Q25, setelah memperoleh kontrak baru dengan ketentuan ekonomi yang lebih menguntungkan.
Artinya, restart produksi dilakukan bukan karena dorongan volume semata, tetapi karena margin per ton kembali menarik.

Dari sisi investor, ini menjadi potensi katalis untuk tahun 2026.
Jika kontrak baru memang memberi margin positif dan stabil, MBMA dapat kembali mengangkat kontribusi nikel matte terhadap pendapatan total. Namun bila harga nikel global kembali melemah, restart ini bisa menghadapi tantangan baru.


6. Pergeseran Portofolio: Dari Nikel ke Emas

Salah satu poin paling penting dari laporan ini adalah terjadinya perubahan komposisi pendapatan.
Jika tahun 2024 MBMA dan MDKA banyak ditopang oleh penjualan NPI dan nickel matte, kini porsi emas dan limonite meningkat signifikan.

Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa grup Merdeka kini lebih “emas-oriented” dibanding tahun lalu.
Hal ini memiliki dua sisi:

  • Positif, karena harga emas sedang berada di level historis tinggi, sehingga profitabilitas meningkat.

  • Negatif, karena ketergantungan yang lebih besar pada satu komoditas juga meningkatkan risiko jika harga emas turun tajam di masa depan.

Bagi investor, ini berarti valuasi saham MDKA dan MBMA kini lebih sensitif terhadap fluktuasi harga emas ketimbang harga nikel.


7. Outlook: Restart Nickel Matte & Produksi Emas Baru

Dua katalis besar sudah di depan mata:

  1. Restart produksi nickel matte MBMA pada 4Q25.
    Jika kontrak baru benar-benar memberi margin positif, kontribusi pendapatan nikel matte dapat kembali tumbuh pada 2026.
    Namun perlu dicermati, proses restart tambang dan smelter tidak instan. Ada potensi biaya tambahan (recommissioning cost) serta waktu penyesuaian operasional.

  2. Produksi emas baru dari proyek EMAS pada 1Q26.
    MDKA mengumumkan bahwa kegiatan penambangan di wilayah tersebut telah dimulai sejak 1 Oktober 2025, dengan target produksi pertama pada kuartal pertama 2026.
    Proyek ini berpotensi memperkuat posisi MDKA sebagai produsen emas domestik terbesar di antara emiten sekelasnya.

Dengan dua katalis tersebut, 2026 bisa menjadi tahun transisi positif bagi grup Merdeka — asalkan keduanya terealisasi sesuai rencana dan harga komoditas global tetap stabil.


8. Tren Korporasi: Diversifikasi Jadi Tema Besar

Sementara MDKA dan MBMA fokus pada optimalisasi margin dan restart proyek, berita lain datang dari dunia tambang Indonesia.
PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dilaporkan oleh Bloomberg Technoz tengah melakukan ekspansi ke bisnis bauksit dan alumina, dengan mengakuisisi 45% saham PT Laman Mining senilai US$59,1 juta (~Rp985 miliar).

Langkah ini menandakan bahwa para pemain besar tambang di Indonesia mulai mendiversifikasi portofolio mineralnya.
BUMI yang selama ini dikenal sebagai raksasa batubara, kini berusaha menjejakkan kaki di rantai nilai baru — dari bauksit (bijih aluminium) hingga pabrik alumina (bahan dasar aluminium).

Bagi MDKA dan MBMA, ini adalah sinyal pasar yang penting.
Diversifikasi mineral menunjukkan bahwa peta persaingan sektor tambang Indonesia semakin lebar, tidak hanya bertumpu pada batubara dan nikel saja.
Di sisi lain, langkah BUMI ini bisa menjadi “pemanasan” untuk proyek-proyek hilirisasi baru di masa depan, termasuk potensi sinergi lintas komoditas dan energi.


9. Sentimen Makro: Emas Mendapat Angin, Nikel Masih Lesu

Secara global, harga emas mendapat dukungan dari prospek penurunan suku bunga di AS dan ketegangan geopolitik yang masih tinggi. Investor global cenderung mencari aset lindung nilai (safe haven) ketika ekonomi dunia melambat.
Hal ini menjelaskan mengapa harga emas bisa naik hingga melampaui US$3.000/oz — level tertinggi sepanjang masa.

Sebaliknya, harga nikel masih menghadapi tekanan akibat kelebihan pasokan dari Tiongkok dan Indonesia sendiri.
Produksi nikel global tumbuh lebih cepat dibanding permintaan, terutama karena penambang di Asia Tenggara terus menambah kapasitas smelter.
Akibatnya, margin produsen nikel dunia, termasuk MBMA, ikut tertekan.

Dalam kondisi seperti ini, strategi memprioritaskan efisiensi dan memilih waktu produksi yang tepat menjadi kunci bertahan hidup.
MBMA tampaknya memahami hal ini dengan baik, terbukti dari langkah menunda produksi nickel matte hingga kondisi pasar membaik.


10. Prospek ke Depan: Efisiensi, Hilirisasi, dan Nilai Tambah

Laporan 9M25 tidak hanya menceritakan angka, tetapi juga menggambarkan arah strategi jangka panjang grup Merdeka.
Ada tiga benang merah yang bisa diambil:

  1. Efisiensi operasional sebagai fokus utama.
    Hampir semua segmen menunjukkan penurunan biaya produksi (cash cost). Ini menunjukkan bahwa perusahaan menempatkan efisiensi sebagai prioritas di tengah fluktuasi harga global.

  2. Diversifikasi dan hilirisasi.
    Dengan limonite dan NPI yang terus diproduksi, serta rencana restart nickel matte, MBMA memperkuat posisinya di rantai pasokan baterai dan stainless steel.
    Sementara MDKA terus mengembangkan proyek-proyek emas dan tembaga dengan pendekatan berkelanjutan.

  3. Nilai tambah jangka panjang.
    Ketika proyek EMAS mulai berproduksi pada 1Q26, MDKA berpotensi menambah kapasitas produksi emas secara signifikan. Ini bisa menjadi pendorong valuasi saham dalam jangka menengah.


11. Kesimpulan: Strategi Bertahan di Tengah Perubahan

Secara keseluruhan, 9M25 menunjukkan bahwa MDKA dan MBMA berhasil menjaga keseimbangan di tengah badai pasar komoditas.
Kenaikan tajam harga emas menjadi penopang utama laba, sementara efisiensi di NPI dan limonite membantu menjaga margin di segmen lain.

Kinerja yang sejalan dengan guidance revisi 2025 juga menunjukkan bahwa manajemen memiliki kendali yang baik atas operasi dan biaya.
Namun, tantangan masih ada — terutama di segmen nikel yang belum pulih sepenuhnya.

Tahun 2026 akan menjadi tahun penting. Jika restart nickel matte berjalan sesuai rencana dan proyek emas baru (EMAS) mulai berproduksi tepat waktu, maka grup Merdeka bisa memasuki fase pertumbuhan baru dengan portofolio yang lebih seimbang antara emas dan nikel.

Bagi investor, pesan utamanya jelas:
ini bukan sekadar cerita tentang tambang, tetapi tentang bagaimana perusahaan beradaptasi dan menavigasi perubahan siklus komoditas dengan strategi yang realistis dan efisien.


Sumber Data

Data dan analisis diambil dari laporan operasional MDKA & MBMA 3Q25 serta sumber publik Bloomberg Technoz, IDX, dan pernyataan resmi perusahaan. Semua angka bersifat estimatif berdasarkan tabel data operasional 9M25 dan dapat berubah seiring publikasi laporan keuangan resmi.

Disclaimer

Tulisan ini dibuat untuk tujuan edukasi dan informasi, bukan merupakan rekomendasi jual atau beli saham. Setiap keputusan investasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembaca.