Pareto Saham, Sektor menara telekomunikasi belakangan memang tidak lagi se-“panas” dua tahun lalu. Setelah periode ekspansi agresif dan perang harga di antara para penyewa utama (operator seluler), kini bisnis menara masuk ke fase yang lebih rasional. Namun, bagi investor, kondisi “tenang” ini justru menarik: dari sinilah bisa terlihat siapa yang mampu menjaga efisiensi dan tetap tumbuh di tengah tekanan sewa.

Salah satu pemain besar yang menarik dicermati tentu saja PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) — anak usaha Telkom Group yang menjadi tulang punggung infrastruktur menara di Indonesia.
Dan kini, hasil kinerja kuartal III-2025 (3Q25) mereka telah keluar. Bagaimana hasilnya?


Pendapatan Turun Tipis, Tapi Masih Sesuai Ekspektasi

Pada 3Q25, MTEL membukukan pendapatan sebesar Rp2,285 triliun, turun 2,1% secara kuartalan (QoQ) dan 3,5% secara tahunan (YoY).
Angka ini sejatinya masih sesuai dengan estimasi Pareto Saham dan konsensus analis, karena secara kumulatif sudah mencapai 70,5% dan 71,1% dari target proyeksi tahun penuh 2025 (FY25F). Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata pencapaian MTEL di kuartal ketiga berada di sekitar 72,9%, artinya kinerja kali ini masih dalam rentang normal.

Namun yang perlu digarisbawahi bukan cuma soal pencapaian terhadap target, tapi juga mengapa pendapatan turun.
Penyebab utamanya bukan karena kehilangan pelanggan, melainkan karena tekanan tarif sewa — sesuatu yang memang sedang terjadi di seluruh industri menara.


Tekanan Tarif Sewa: Sisi Gelap di Balik Pertumbuhan Tenancy

MTEL melaporkan bahwa tarif sewa gabungan (average blended lease rate) pada kuartal ini mencapai Rp10,1 juta per bulan, turun 5,8% QoQ dan 8,1% YoY.
Penurunan ini cukup signifikan jika dibandingkan tren beberapa tahun terakhir yang cenderung stabil di atas Rp11 juta per bulan.

Apa penyebabnya?
Ada dua faktor utama:

  1. Renegosiasi kontrak lama dan kontrak baru dengan operator besar yang meminta harga lebih kompetitif.

  2. Kontrak sale-and-leaseback — yaitu ketika operator menjual menara ke MTEL dan kemudian menyewanya kembali — biasanya memiliki tarif sewa lebih rendah, sekitar Rp10 juta per bulan.

Kedua faktor ini menekan rata-rata pendapatan per menara.
Namun di sisi lain, tingkat okupansi justru naik.


Okupansi Naik, Tenancy Ratio Membaik

Sepanjang 3Q25, MTEL berhasil menambah 320 menara baru, sehingga total menara kini mencapai 40.102 unit.
Lebih menarik lagi, jumlah tenancy (penyewaan menara) naik menjadi 62.000, atau tumbuh 4,3% YoY dan 1,8% QoQ, sehingga tenancy ratio meningkat menjadi 1,55x.

Tenancy ratio adalah indikator penting di bisnis menara:
semakin tinggi angka ini, semakin banyak penyewa di satu menara — dan semakin efisien model bisnisnya.

Jadi meskipun tarif sewa per menara turun, peningkatan okupansi sedikit banyak menahan penurunan pendapatan agar tidak lebih dalam.
Namun, efek margin tetap terasa.


Margin EBIT Tergerus, Laba Bersih Turun 21,2% QoQ

Di sisi profitabilitas, margin EBIT (Earnings Before Interest and Tax) MTEL turun menjadi 43,7%, atau turun 2,5 poin persentase QoQ.
Salah satu penyebabnya adalah kenaikan biaya pendapatan sebesar 3,5% QoQ, yang menunjukkan tekanan di sisi operasional — mungkin akibat beban listrik, maintenance, atau proyek konstruksi baru.

Sementara itu, biaya keuangan meningkat 11,4% QoQ menjadi Rp343 miliar, menandakan adanya kenaikan bunga pinjaman atau penambahan utang baru untuk ekspansi.
Efek domino dari kombinasi dua faktor tersebut terlihat di laba bersih:
MTEL hanya membukukan Rp448 miliar laba bersih, turun 21,2% QoQ dan 4,4% YoY.

Meski secara nominal penurunan terlihat cukup tajam, angka ini masih on track terhadap target FY25, dengan capaian 68,8% (versi Pareto Saham) dan 70,9% (versi konsensus).


Kondisi Keuangan: Kas Menyusut, Tapi Gearing Masih Terkendali

Dari sisi neraca, kas dan setara kas turun signifikan sebesar 77,2% QoQ menjadi Rp632 miliar, atau turun 17,4% YoY.
Ini bisa disebabkan oleh dua hal:

  1. Pembayaran belanja modal (capex) untuk proyek menara baru, dan

  2. Pembayaran bunga serta utang jangka pendek.

Meski kas menurun tajam, kondisi keuangan MTEL masih relatif aman.
Rasio net gearing berada di level 61,3%, dan rasio net debt terhadap EBITDA stabil di 2,6x — angka yang masih dianggap sehat untuk perusahaan infrastruktur dengan arus kas stabil.

Untuk konteks, perusahaan sejenis seperti TOWR (Sarana Menara Nusantara) biasanya memiliki net debt/EBITDA di kisaran 2,3–2,8x. Artinya, posisi MTEL masih dalam batas wajar industri.

BACA JUGA : ANALISA SAHAM MTEL PASCA BUY BACK  Rp.1 Triliun


Pendapatan dari TLKM Turun, Tapi EXCL Memberi Angin Segar

Hal menarik lain di laporan ini adalah pergeseran sumber pendapatan antar-klien besar.
Manajemen menyebutkan bahwa:

  • Pesanan dari EXCL (XL Axiata) meningkat tajam setelah penyelesaian proses merger operator.
    Total pesanan baru mencapai 1.185 titik, terdiri dari 405 colocation (penyewaan di menara yang sudah ada) dan 780 proyek konstruksi baru yang masih berjalan.

    Ini kabar positif, karena menandakan pipeline pertumbuhan MTEL di 2026 sudah terbuka sejak dini.

  • Sebaliknya, pendapatan dari TLKM (Telkom) justru menurun, terutama pada segmen layanan terkelola (managed service).
    Penurunannya sekitar -4,2% QoQ dan -4,2% YoY, dipengaruhi oleh program efisiensi biaya yang sedang dilakukan Telkom Group secara menyeluruh.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa meski Telkom adalah induk MTEL, perusahaan tetap harus bersaing secara profesional, bahkan terhadap grupnya sendiri.


Aset FTTT Tidak Jadi Dialihkan ke MTEL

Isu penting lainnya datang dari potensi akuisisi aset FTTT (Fiber To The Tower) milik Telkom.
Setelah melalui proses due diligence, manajemen MTEL memutuskan tidak melanjutkan akuisisi.
Alasannya cukup teknis tapi logis: jaringan FTTT Telkom sudah terintegrasi erat dengan jaringan FTTH (Fiber To The Home), sehingga pemisahan aset akan sangat rumit.

Sebagai gantinya, aset tersebut akan dialihkan ke Infranexia, entitas lain dalam ekosistem Telkom Group.
Langkah ini memang sempat menimbulkan kekhawatiran akan potensi kanibalisasi antara MTEL dan Infranexia, tetapi manajemen menegaskan bahwa pengembangan proyek FTTT selanjutnya tetap akan dilakukan oleh MTEL.

Masih ada ketidakpastian terkait apakah aset FTTT milik Infranexia akan disewakan eksklusif untuk Telkomsel atau dibuka untuk pihak ketiga.
Namun secara strategis, keputusan ini menunjukkan bahwa MTEL lebih memilih fokus ke bisnis inti menara, bukan serat optik — keputusan yang bisa menjaga stabilitas margin jangka panjang.


Belanja Modal & Proyeksi: Pertumbuhan Tipis tapi Konsisten

Manajemen MTEL mempertahankan proyeksi pertumbuhan pendapatan tahunan di kisaran 1–1,2% YoY, sesuai dengan rata-rata industri.
Angka ini memang tidak spektakuler, tetapi dalam konteks bisnis menara yang sudah mature, stabilitas lebih penting daripada agresivitas.

Untuk mendukung pertumbuhan itu, MTEL menyiapkan belanja modal (capex) sebesar Rp3,1 triliun di tahun 2025.
Menariknya, setengah dari dana tersebut dialokasikan untuk proyek built-to-suit, yaitu pembangunan menara baru yang sudah memiliki penyewa sejak awal — strategi yang minim risiko.

Hingga akhir September 2025 (9M25), capex yang sudah terealisasi baru sekitar Rp1,1 triliun, artinya masih ada Rp2 triliun lagi yang akan digelontorkan di kuartal IV.
Karena sebagian besar proyek sudah dalam tahap konstruksi, diperkirakan realisasi capex akan mendorong pertumbuhan tenancy ratio lebih lanjut di 2026.


Kesimpulan: Bisnis Stabil, Tapi Margin Perlu Dijaga

Dari semua data di atas, bisa disimpulkan bahwa fundamental MTEL masih cukup solid, meski menghadapi tekanan jangka pendek di margin dan tarif sewa.

Secara ringkas:

Dengan segala tekanan tarif dan biaya, kisah MTEL kini mirip seperti kapal besar yang menurunkan kecepatan agar tetap stabil di gelombang tinggi.
Mungkin tidak secepat TOWR dalam menumbuhkan EBITDA, tetapi model bisnisnya yang defensif dan hubungan erat dengan Telkom Group membuat MTEL tetap menarik bagi investor konservatif yang mencari cashflow stabil.


Catatan untuk Investor Pemula

Bagi kamu yang baru mengenal dunia saham, kinerja seperti MTEL ini mengajarkan satu hal penting:
tidak semua penurunan laba berarti fundamental perusahaan memburuk.
Sering kali, bisnis infrastruktur seperti menara lebih fokus pada arus kas jangka panjang, bukan sekadar pertumbuhan laba kuartalan.

Selama:

  • tenancy ratio meningkat,

  • rasio utang terjaga, dan

  • proyek baru dikerjakan dengan kontrak jangka panjang,

maka bisnis masih bisa bertahan dan memberi dividen stabil.


Referensi Data