Bayangkan Anda memiliki lahan strategis di tengah kota, lalu disewakan ke tiga perusahaan besar yang tidak akan pernah berhenti beroperasi — setiap bulan uang sewanya masuk, kontraknya panjang, dan permintaannya stabil.
Kira-kira seperti itulah model bisnis PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL), anak usaha Telkom Indonesia yang menjadi salah satu perusahaan menara telekomunikasi terbesar di Asia Tenggara.
Namun di balik bisnis yang terlihat stabil ini, ada dinamika besar yang sedang bergerak. Industri menara tengah menghadapi era baru: konsolidasi operator seluler, potensi merger antar perusahaan tower, hingga rencana besar Telkom memisahkan aset serat optiknya ke anak usaha baru bernama Infranexia.
Di tengah semua itu, Mitratel baru saja mengumumkan langkah penting: program buyback saham senilai Rp1 triliun, di tengah harga sahamnya yang turun lebih dari 11% sepanjang tahun 2025.
Lalu, apakah langkah ini menjadi sinyal “beli” bagi investor jangka panjang? Mari kita bahas satu per satu dengan bahasa yang sederhana namun mendalam.
Siapa dan Apa Sebenarnya MTEL?
Mitratel (kode saham: MTEL) adalah perusahaan penyedia infrastruktur telekomunikasi yang bergerak di bidang kepemilikan dan penyewaan menara, kolokasi, serta layanan fiber optik.
Secara sederhana, MTEL membangun menara dan menyewakannya kepada operator seluler seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata.
Pendapatan utamanya berasal dari biaya sewa jangka panjang — mirip dengan bisnis properti, tetapi penyewanya bukan toko atau apartemen, melainkan perusahaan telekomunikasi yang menempatkan perangkat BTS di menara-menara tersebut.
Sebagian besar kontrak sewanya juga berlangsung lama, sekitar 10 tahun, sehingga memberikan arus kas berulang (recurring income) yang relatif stabil.
Sebagai gambaran, pada akhir 2024, MTEL memiliki sekitar 39.404 unit menara di seluruh Indonesia, dengan tingkat sewa rata-rata lebih dari 1,5 tenant per menara.
Artinya, satu menara bisa disewa oleh lebih dari satu operator sekaligus, yang tentunya meningkatkan efisiensi dan profitabilitas.
Kinerja Keuangan Terkini: Stabil Tapi Moderat
Berdasarkan laporan kinerja semester I-2025, Mitratel mencatat pendapatan Rp4,6 triliun, tumbuh sekitar 2,2% secara tahunan (YoY).
Laba bersih tercatat Rp1,09 triliun, naik tipis 2,83% YoY dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kenaikan yang moderat ini menunjukkan bisnis MTEL relatif stabil, meskipun tidak mengalami lonjakan besar seperti di masa ekspansi agresif tahun-tahun sebelumnya.
Dari sisi neraca keuangan, posisi kas perusahaan mencapai Rp2,8 triliun pada kuartal II 2025.
Total aset mencapai Rp60,08 triliun, sementara total liabilitas sebesar Rp27,66 triliun dan ekuitas sebesar Rp32,42 triliun.
Dengan posisi ini, rasio net gearing MTEL (utang bersih terhadap ekuitas) masih sangat rendah, di kisaran 0,4 kali. Artinya, perusahaan punya ruang besar untuk melakukan ekspansi tanpa tekanan utang yang berat.
EBITDA margin Mitratel juga terbilang tinggi di atas 80%, yang menunjukkan efisiensi operasional yang kuat.
Ketergantungan pada Telkomsel dan Risiko Konsentrasi Pendapatan
Dari sisi pelanggan, MTEL masih sangat bergantung pada Telkomsel, yang menyumbang sekitar 55% dari total pendapatan hingga kuartal II 2025.
Sementara itu, Indosat berkontribusi sekitar 21%, dan XL Axiata sekitar 14%.
Ketergantungan terhadap satu penyewa besar seperti Telkomsel bisa menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, Telkomsel adalah operator terbesar dan paling stabil di Indonesia — artinya, risiko gagal bayar atau pengurangan sewa relatif kecil.
Namun di sisi lain, konsentrasi ini berarti jika Telkomsel mengubah strategi jaringan atau melakukan efisiensi, dampaknya bisa signifikan bagi pendapatan Mitratel.
Bagi investor pemula, ini mirip seperti memiliki satu pelanggan utama yang memberi lebih dari separuh pemasukan toko Anda. Stabil, tapi berisiko kalau pelanggan itu tiba-tiba pindah belanja.
Potensi Konsolidasi Industri Menara
Salah satu topik hangat di industri telekomunikasi Indonesia adalah konsolidasi operator seluler (MNO).
Saat ini, setelah sejumlah merger, pasar hanya didominasi oleh tiga pemain besar: Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata.
Kondisi ini membuat jumlah penyewa potensial bagi perusahaan menara berkurang, sehingga menciptakan tekanan untuk efisiensi dan konsolidasi di sisi penyedia tower.
Kini hanya ada empat pemain besar di industri menara: MTEL, Tower Bersama Infrastructure (TBIG), Sarana Menara Nusantara (TOWR), dan Centratama (CENT).
Dengan jumlah MNO yang lebih sedikit, secara logis akan muncul tekanan untuk menggabungkan portofolio menara agar efisien.
Sebelumnya, beberapa analis memperkirakan bahwa Centratama (CENT) bisa menjadi target akuisisi yang menarik. Namun manajemen MTEL menegaskan bahwa kecil kemungkinan mereka mengakuisisi CENT karena mayoritas asetnya berupa In-Building Coverage (IBC) dengan durasi kontrak sewa pendek hanya 2–3 tahun.
Sedangkan bisnis utama MTEL adalah menara dengan kontrak sewa jangka panjang sekitar 10 tahun yang lebih stabil.
Sebaliknya, kemungkinan konsolidasi antara MTEL dan TBIG dinilai lebih masuk akal.
Kedua perusahaan sama-sama memiliki penyewa utama Telkomsel, sehingga kecil kemungkinan mereka membangun menara di lokasi yang saling berdekatan.
Konsolidasi semacam ini akan membantu mengurangi tumpang tindih (overlap) lokasi menara dan meningkatkan efisiensi jaringan.
Dampak Spin-off Infranexia: Persaingan Baru dari “Saudara Sendiri”?
Faktor strategis lain yang patut diperhatikan adalah rencana Telkom melakukan spin-off aset serat optiknya ke anak usaha baru bernama Infranexia atau PT Telkom Infrastruktur Indonesia (TIF).
Rencana ini menciptakan potensi tumpang tindih (overlap) bisnis antara Mitratel dan Infranexia.
Saat ini, MTEL memiliki lini bisnis Fiber-to-the-Tower (FTTT) yang menyediakan koneksi serat optik dari menara ke titik distribusi optik (ODP).
Layanan ini membantu penyedia internet (ISP) menjangkau pelanggan akhir dengan koneksi fiber.
Namun model bisnis ini mirip dengan bisnis Infranexia, yang menawarkan solusi fiber end-to-end — dari backbone hingga pelanggan akhir.
Artinya, Mitratel dan Infranexia sama-sama akan bermain di wilayah bisnis yang serupa.
Meskipun keduanya berada di bawah grup Telkom, namun tetap berpotensi terjadi “kanibalisasi internal” jika tidak diatur dengan strategi yang jelas.
Dari sisi pelanggan, situasi ini juga menarik:
Penyewa menara MTEL didominasi Telkomsel (sekitar 55%), tetapi penyewa layanan FTTT-nya justru berasal dari Indosat dan XL, karena sebagian besar menara Telkomsel sudah terhubung langsung ke fiber milik Telkom.
Jika Infranexia agresif masuk ke segmen ISP dan penyedia fiber, MTEL harus menyesuaikan strategi agar tidak kehilangan pasar di layanan tambahannya.
RUPSLB MTEL: Buyback Saham Rp1 Triliun
Salah satu berita paling menarik tahun ini datang dari Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar pada 16 September 2025.
Dalam rapat tersebut, pemegang saham menyetujui program pembelian kembali saham (buyback) dengan nilai maksimal Rp1 triliun dan jangka waktu pelaksanaan hingga 12 bulan.
Program buyback ini bertujuan menjaga stabilitas harga saham, yang tercatat turun sekitar 11,6% secara year-to-date (YTD) hingga pertengahan September 2025.
Buyback dilakukan menggunakan kas internal, yang per Juni 2025 masih kuat sebesar Rp2,8 triliun.
Total anggaran buyback ini setara dengan 4,12% dari modal ditempatkan dan disetor penuh, yang menandakan komitmen manajemen untuk menjaga kepercayaan investor.
Sebagai catatan, MTEL juga pernah melakukan buyback pada tahun 2023 dengan anggaran Rp1,5 triliun, dan berhasil merealisasikan sekitar Rp1,42 triliun (atau 94,7% dari total).
Langkah ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki likuiditas kuat dan percaya bahwa harga sahamnya saat ini masih undervalued.
Selain buyback, RUPSLB tersebut juga mengangkat Ibnu Sulistyo Riza Pradipto sebagai komisaris independen baru — bagian dari penyegaran struktur tata kelola perusahaan.
Analisa Valuasi Saham MTEL (2021–2025)
Untuk memahami apakah saham MTEL saat ini tergolong menarik atau belum, kita perlu melihat kembali perjalanan kinerja dan valuasinya sejak perusahaan ini melantai di bursa pada tahun 2021.
Kinerja Keuangan: Dari IPO hingga 2Q25
Mitratel resmi IPO pada November 2021 dengan harga Rp800 per saham. Saat itu, kapitalisasi pasarnya mencapai sekitar Rp99 triliun, menjadikannya salah satu IPO terbesar di sektor infrastruktur digital Indonesia.
Dari sisi kinerja, pendapatan Mitratel terus menunjukkan tren naik:
-
2021: Rp6,87 triliun
-
2022: Rp7,72 triliun (naik 12,4% YoY)
-
2023: Rp8,72 triliun (naik 13% YoY)
-
2024: sekitar Rp9,4 triliun (perkiraan dari laporan tahunan TelkomGroup)
-
2Q25: pendapatan semester pertama tercatat sekitar Rp4,75 triliun — naik tipis dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Laba bersihnya pun stabil tumbuh dengan margin yang relatif kuat:
-
2021: Rp1,38 triliun
-
2022: Rp1,83 triliun (naik 32,6%)
-
2023: Rp2,05 triliun (naik 12%)
-
2024: sekitar Rp2,1 triliun
-
2Q25: laba bersih semester I sebesar Rp1,05 triliun, naik sekitar 4% YoY.
Pertumbuhan ini menunjukkan MTEL masih menjaga efisiensi operasional dan ekspansi menara baru yang terukur, meskipun industri menara mulai memasuki fase konsolidasi setelah merger operator seluler (Telkomsel–Indihome dan XL–Axis–Indosat).
Rasio Keuangan dan Struktur Modal
Bila kita lihat dari sisi neraca, posisi kas MTEL tetap solid — Rp2,8 triliun pada 2Q25, dengan net gearing ratio di bawah 1x, artinya utang bersih terhadap ekuitas masih sangat aman.
Rasio penting lainnya juga menunjukkan profil yang sehat:
(Sumber: Laporan Keuangan MTEL 2021–2Q25, IDX, Telkom Annual Report) |
Logika pergerakannya:
-
PER (Price to Earnings Ratio) turun dari 34x ke sekitar 20x, artinya valuasi saham semakin murah dibandingkan laba yang dihasilkan. Penurunan ini bukan karena kinerja buruk, tetapi karena laba naik lebih cepat dibanding harga saham yang stagnan atau turun 11,6% YTD.
-
PBV (Price to Book Value) juga menurun dari 3,8x ke 2,4x, yang menunjukkan saham ini mulai masuk ke zona “value stock” — lebih murah dibanding valuasi saat IPO.
-
ROE (Return on Equity) meningkat dari 11,2% menjadi sekitar 14%, yang menandakan efisiensi perusahaan makin baik dalam menghasilkan laba dari modal yang dimiliki.
Dengan struktur modal yang efisien dan leverage rendah, Mitratel memiliki fleksibilitas tinggi untuk melakukan ekspansi organik atau aksi korporasi seperti buyback saham tanpa mengganggu stabilitas neraca.
Kebijakan Dividen: Stabil dan Konsisten
Sebagai anak usaha TelkomGroup, MTEL dikenal cukup disiplin dalam membagikan dividen. Sejak IPO, perusahaan rutin membagikan sebagian labanya kepada pemegang saham:
-
2022 (untuk laba 2021): Rp940 miliar atau setara dividen yield sekitar 1,1% pada harga IPO.
-
2023 (untuk laba 2022): Rp1,3 triliun dengan dividen yield sekitar 2,2%.
-
2024 (untuk laba 2023): Rp1,5 triliun dengan dividen yield mendekati 3%.
Meski yield-nya tidak setinggi sektor perbankan atau batubara, dividen MTEL tergolong stabil dan berkelanjutan, karena ditopang oleh arus kas operasional yang besar dan kontrak sewa jangka panjang (10 tahun) dari pelanggan utama seperti Telkomsel, Indosat, dan XL.
Perbandingan dengan TBIG dan TOWR
Untuk menilai apakah saham MTEL tergolong mahal atau murah, kita bandingkan dengan dua pemain besar di industri menara: PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR).
Dari tabel ini terlihat bahwa MTEL memiliki valuasi termurah di antara tiga pemain utama, dengan leverage paling rendah dan risiko finansial paling kecil. Namun, TBIG dan TOWR masih lebih unggul dari sisi profitabilitas (ROE lebih tinggi), karena basis penyewa dan efisiensi biaya mereka sudah lebih matang.
Bagi investor pemula, hal ini bisa diartikan sederhana:
“Saham MTEL mungkin belum seefisien TOWR, tapi valuasinya sudah cukup murah untuk perusahaan yang punya neraca sehat, cash kuat, dan posisi strategis di bawah Telkom.”
Kesimpulan Valuasi: Di Persimpangan Antara Stabilitas dan Pertumbuhan
Melihat seluruh data 2021–2025, saham MTEL berada di zona valuasi wajar cenderung undervalued.
-
PER 20x dan PBV 2,4x masih di bawah rata-rata industri,
-
Rasio utang rendah (<1x net gearing),
-
ROE stabil di 14%, dan
-
Dividen yield meningkat konsisten.
Kombinasi ini menjadikan MTEL menarik bagi investor jangka menengah–panjang yang mencari stabilitas arus kas dan eksposur terhadap pertumbuhan infrastruktur digital Indonesia.
Namun, katalis kenaikan harga saham dalam jangka pendek tetap akan sangat bergantung pada:
-
Keberhasilan buyback Rp1 triliun dalam menahan tekanan harga saham,
-
Dampak spin-off Telkom ke Infranexia terhadap bisnis fiber MTEL, dan
-
Arah konsolidasi industri tower (apakah benar MTEL akan berduet dengan TBIG atau tetap ekspansi organik).
Dengan semua variabel itu, valuasi MTEL saat ini bisa dianggap masih punya ruang kenaikan moderat, selama perusahaan mampu menjaga margin laba dan memperluas layanan fiber-to-the-tower tanpa benturan dengan Telkom Infrastruktur.
Analisa Fundamental dan Prospek Jangka Panjang
Jika kita melihat analisa fundamental, Mitratel memiliki tiga kekuatan utama:
-
Arus kas kuat dan stabil – berkat kontrak sewa jangka panjang dan basis penyewa besar.
-
Posisi keuangan sehat – dengan gearing ratio rendah, sehingga punya ruang ekspansi.
-
Dukungan grup Telkom – sebagai bagian dari BUMN telekomunikasi terbesar di Indonesia, akses ke proyek dan sinergi jaringan menjadi keunggulan tersendiri.
Namun, di sisi lain, ada beberapa risiko yang tetap perlu diwaspadai:
-
Pertumbuhan organik melambat, karena pasar menara mulai jenuh.
-
Ketergantungan terhadap Telkomsel masih tinggi.
-
Persaingan dengan Infranexia berpotensi menekan bisnis fiber-to-the-tower.
-
Konsolidasi industri menara bisa menimbulkan perubahan struktur pasar, baik positif maupun negatif, tergantung posisi MTEL di tengahnya.
Bagi investor pemula, penting untuk memahami bahwa bisnis menara adalah bisnis jangka panjang.
Hasilnya tidak bisa dilihat dalam hitungan minggu, tapi tahun. Selama operator seluler masih terus memperluas jaringan dan memperkuat konektivitas 4G dan 5G, maka kebutuhan akan menara dan fiber tetap tinggi.
Apakah Saham MTEL Layak Dibeli?
Jika kita memadukan semua faktor di atas, maka kesimpulannya:
-
Secara fundamental: MTEL masih solid, dengan laba stabil, margin tinggi, dan neraca kuat.
-
Secara valuasi: sahamnya berada pada level wajar hingga undervalued.
-
Secara strategi: buyback Rp1 triliun menjadi sinyal kuat bahwa manajemen percaya pada prospek sahamnya.
-
Secara risiko: masih ada ketergantungan terhadap Telkomsel dan potensi overlap bisnis dengan Infranexia.
Dengan asumsi harga saham MTEL masih bergerak di kisaran wajar dan yield dividen di atas 3%, maka untuk investor jangka panjang, MTEL termasuk kategori “Buy on Weakness” — beli saat harga melemah, simpan untuk jangka menengah-panjang (3–5 tahun).
Insight Akhir
Mitratel (MTEL) adalah contoh klasik perusahaan dengan bisnis stabil, arus kas kuat, dan posisi strategis dalam ekosistem digital Indonesia.
Meski pertumbuhan tidak eksplosif, namun ketahanan dan potensi konsolidasi industri membuat saham ini tetap menarik di mata investor konservatif.
Program buyback Rp1 triliun, valuasi yang masih moderat, serta dukungan dari induk usaha Telkom Group menjadi kombinasi yang memperkuat daya tariknya.
Selama manajemen mampu menjaga efisiensi dan menavigasi tantangan spin-off Infranexia dengan cerdas, Mitratel berpotensi tetap menjadi tulang punggung infrastruktur konektivitas Indonesia.
Bagi investor pemula, saham MTEL bisa menjadi contoh ideal untuk memahami konsep “bisnis berulang dengan cash flow stabil” — sebuah fondasi penting dalam membangun portofolio jangka panjang yang sehat.
Catatan Sumber Data:
-
Laporan Keuangan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) 2021–2Q25
-
Laporan Tahunan PT Telkom Indonesia Tbk 2022–2024
-
IDX & Eikon Data per September 2025
-
Komparasi valuasi TBIG & TOWR dari data Bloomberg per Agustus 2025
-
Laporan keuangan konsolidasian MTEL per Juni 2025.
Paparan publik dan riset perusahaan efek BRI Danareksa (April 2025).
-
Data analisis industri telekomunikasi Indonesia 2025.
-
Notulensi RUPSLB PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (16 September 2025).
-
Analisa internal Pareto Saham berdasarkan data publik dan laporan tahunan MTEL 2024–2025
🧾 Disclaimer
Seluruh informasi, data, grafik, dan analisa yang disajikan dalam artikel ini bertujuan untuk pendidikan dan informasi umum. Artikel ini bukan merupakan rekomendasi investasi, ajakan untuk membeli atau menjual efek tertentu, maupun saran keuangan pribadi.
Data yang digunakan berasal dari laporan keuangan publik PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL), Bursa Efek Indonesia (BEI), serta sumber terpercaya lainnya hingga periode kuartal II tahun 2025. Meskipun telah diupayakan seakurat mungkin, Pareto Saham tidak menjamin kebenaran, kelengkapan, dan ketepatan waktu informasi yang disajikan.
Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab masing-masing pembaca. Harap selalu melakukan riset mandiri (do your own research) dan konsultasi dengan penasihat keuangan sebelum mengambil keputusan investasi apa pun.
© 2025 Pareto Saham. Semua hak cipta dilindungi undang-undang.
🔒 Catatan untuk Pembaca Pareto Saham
Analisa ini disajikan untuk tujuan edukasi dan informasi umum. Untuk pembahasan lanjutan—termasuk panduan harga masuk, target jual, dan strategi pemantauan valuasi saham MTEL secara berkala—tersedia khusus bagi anggota premium Pareto Saham.
Bergabunglah untuk mendapatkan akses ke riset mendalam dan pembaruan rutin dari tim analis kami.
0Komentar