ANALISA SAHAM ERAA dengan Pendekatan Anal Warrent Buffet Style

Kalau Warren Buffett hidup di Indonesia dan melirik saham ritel teknologi, mungkin dia akan tertarik pada satu nama: PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA).
Bukan karena promosi iPhone 17-nya yang heboh di mall, atau deretan toko Erafone yang selalu ramai di akhir pekan — tapi karena bisnis di balik layar yang menunjukkan ketahanan luar biasa di tengah perubahan tren.

Buffett selalu bilang, “Price is what you pay, value is what you get.”
Harga saham ERAA boleh naik-turun di layar bursa, tapi nilai bisnisnya — terutama ketika pasar ponsel global bergeser ke arah premiumisasi — mulai memperlihatkan intrinsic value yang menarik.

Di artikel ini, kita tidak akan sekadar bicara soal berapa laba ERAA naik atau turun, tapi bagaimana struktur bisnis, pola konsumsi masyarakat, dan strategi perusahaan ini mencerminkan filosofi value investing.
Mulai dari konsolidasi penjualan Xpeng, peluncuran iPhone 17, sampai tren daya beli menengah yang melemah — semuanya punya cerita tersendiri yang menyingkap nilai sejati di balik kinerja keuangan ERAA.

Dan inilah menariknya: pola inilah yang bisa menentukan arah saham ERAA ke depan. Mari kita bahas dengan cara berpikir ala Warren Buffett — melihat angka bukan sekadar angka, tapi sebagai cermin perilaku manusia dan kekuatan bisnis di baliknya.

Jika kamu belum membaca analisa kami sebelumnya yang membahas kinerja ERAA di awal tahun dan dampak peluncuran iPhone 16 terhadap prospek ERABLU, kamu bisa membacanya terlebih dahulu di artikel berikut:
👉 Analisa Saham ERAA 2025 – Prospek ERABLU dan Dampak Peluncuran iPhone 16 

Artikel tersebut akan membantumu memahami bagaimana ERAA memulai 2025 sebelum kita masuk ke analisa mendalam 3Q25 dan 4Q25 di bawah ini.


📱 ERAA di 3Q25: Bertaruh pada Premium Phones dan Xpeng

Analis memperkirakan penjualan ERAA di kuartal III 2025 (3Q25F) akan tumbuh 11% secara tahunan (YoY). Pertumbuhan ini tidak datang dari segmen ponsel menengah seperti biasanya, melainkan dari dua hal utama:

  1. Lonjakan aksesori hingga 50% YoY, terutama karena penjualan konsolidasi produk Xpeng.

  2. Pertumbuhan satu digit menengah hingga tinggi di segmen ponsel dan voucher.

Namun, jika kita bedah lebih dalam, ternyata volume penjualan ponsel justru turun YoY. Artinya, unit yang terjual lebih sedikit, tapi harga jual rata-rata (Average Selling Price / ASP) naik di kisaran satu digit tinggi, didorong oleh peluncuran Samsung Galaxy Z Fold 7 dan Flip 7 — dua produk yang membidik pasar high-end.

Konsumen menengah sedang menahan dompet mereka, tapi pasar premium masih bertahan kuat. Fenomena ini juga didukung oleh data IDC dan Counterpoint, yang mencatat tren premiumisasi di pasar global — di mana pengguna beralih dari smartphone biasa ke perangkat dengan teknologi tinggi seperti ponsel lipat dan AI.


🚗 Xpeng: Anak Baru yang Langsung Ngebut

Bukan cuma gadget, ERAA kini juga melangkah ke sektor otomotif melalui distribusi Xpeng, merek mobil listrik asal Tiongkok.

Perusahaan mencatat 1.100 komitmen pembelian Xpeng, yang sudah memenuhi target tahunan. Dari jumlah itu, sekitar setengahnya sudah dikirim pada kuartal tersebut, menyumbang sekitar 3% terhadap total penjualan ERAA.

Secara bisnis, kontribusinya terlihat kecil, tapi dari sisi strategi, ini langkah besar. ERAA sedang mencoba mengubah dirinya dari sekadar retailer ponsel menjadi lifestyle technology company. Namun, margin Xpeng masih tipis — hal ini yang nanti akan menekan margin kotor (GPM) ERAA.


💰 Margin Tertekan: Festival Diskon dan Marjin yang Menyusut

Kabar baik soal pertumbuhan penjualan tidak serta-merta berarti profit ikut naik. Faktanya, Gross Profit Margin (GPM) ERAA pada 3Q25F diperkirakan menyempit baik secara kuartalan (QoQ) maupun tahunan (YoY).

Ada dua penyebab utama:

  • Diskon musiman dari acara besar seperti Erafone Festival Belanja dan iBox Anniversary.

  • Basis margin tinggi tahun lalu, karena adanya potongan harga dari pemasok.

Selain itu, margin dari penjualan Xpeng juga lebih tipis dibandingkan produk lain. Kombinasi faktor ini membuat laba bersih ERAA diperkirakan turun sekitar 30% YoY menjadi Rp170 miliar, yang baru mencapai 61% dari konsensus analis untuk setahun penuh.

Namun Buffett selalu mengingatkan: “Harga adalah apa yang kamu bayar, nilai adalah apa yang kamu dapat.”
Penurunan laba sesaat bukan akhir dunia, selama arah bisnis masih logis dan adaptif terhadap tren jangka panjang.


📈 4Q25F: Menuju Laba Rekor, Didukung iPhone 17

Jika 3Q25 terlihat melemah, 4Q25 justru berpotensi menjadi kuartal terbaik ERAA sepanjang sejarah.

Kenapa?

  1. Peluncuran awal iPhone 17 di Indonesia — hanya 0,9 bulan setelah debut di AS, jauh lebih cepat dari rata-rata historis 3,2 bulan.
    Ini berarti siklus penjualan besar yang biasanya terbagi dua kuartal (akhir tahun dan awal tahun berikutnya) kini terakumulasi di kuartal IV 2025.

  2. Konsolidasi penuh penjualan Xpeng, yang semakin menambah volume transaksi perusahaan.

Analis memperkirakan penjualan ERAA pada 4Q25F naik 20% YoY, dengan pertumbuhan ASP dua digit dan kenaikan volume satu digit tinggi. GPM juga diperkirakan membaik secara QoQ dan YoY, berkat kontribusi besar dari peluncuran iPhone 17 — produk yang secara tradisional memberi margin lebih baik.

Namun, tidak semua kabar baik. Opex (biaya operasional) diperkirakan naik 23% YoY, karena:

  • Pembukaan toko baru yang terkonsentrasi pada kuartal tersebut.

  • Efisiensi terbatas dari kebijakan “satu shift per toko” yang diterapkan perusahaan.

Jadi, meski profit bisa rekor, biaya pun meningkat signifikan — sebuah trade-off yang perlu diperhatikan investor.


🔍 Ponsel Premium Naik, Segmen Menengah Masih Lemah

Data IDC dan Counterpoint jelas menunjukkan: konsumen makin condong ke produk premium. Di Indonesia, hal ini terlihat dari dua fenomena:

  1. Antusiasme tinggi terhadap iPhone 17.
    Meski seri iPhone 16 sempat terlambat hadir di pasar lokal, permintaan iPhone 17 langsung meledak. Bahkan banyak unit langsung habis karena pasokan yang lebih ketat dibanding seri sebelumnya.

  2. Model menengah lesu.
    Konsumen yang menahan pembelian akibat tekanan daya beli cenderung menunda upgrade, kecuali untuk produk flagship yang dianggap investasi jangka panjang.

Untuk investor, tren ini menarik. Karena seperti kata Buffett:

“Beli bisnis yang bahkan bisa tetap menghasilkan uang saat idiot pun menjalankannya.”

Dan dalam konteks ini, segmen premium seperti iPhone dan Samsung Fold adalah bisnis dengan brand moat — parit pertahanan yang dalam. Konsumen setia dan rela membayar lebih, bahkan di tengah inflasi.


⚙️ Tahun 2026F: Pertumbuhan Normalisasi, Tapi Arah Masih Positif

Masuk ke tahun 2026F, analis memperkirakan pertumbuhan penjualan ERAA kembali normal di kisaran 8% YoY. Tidak akan ada dua peluncuran besar seperti tahun sebelumnya, sehingga katalis pertumbuhan menurun.

Namun bukan berarti tanpa peluang.

  • Segmen aksesori diproyeksikan naik lebih dari 20% YoY, didukung konsolidasi penjualan Xpeng sepanjang tahun.

  • Penjualan ponsel mungkin turun tipis di kisaran satu digit rendah, seiring daya beli masyarakat menengah belum sepenuhnya pulih.

Menariknya, peluncuran iPhone Fold (jika benar terjadi) bisa menjadi wild card yang mengubah peta. Sebagai distributor resmi Apple melalui iBox, ERAA bisa mendapat angin besar bila produk lipat pertama Apple itu rilis di 2026.


💡 Analisa Gaya Warren Buffett: Bisnis yang Mengerti “Consumer Behaviour”

Mari kita lihat ERAA bukan sekadar angka di laporan keuangan, tapi sebagai bisnis yang memahami manusia.

Buffett selalu menilai perusahaan berdasarkan moat (parit pertahanan), margin of safety, dan predictability.

  1. Moat (Parit Bisnis):
    ERAA punya network advantage — jaringan distribusi nasional dari Erafone, iBox, hingga Urban Republic. Ini bukan sesuatu yang mudah ditiru kompetitor baru. Bahkan, perusahaan global seperti Apple mempercayakan distribusi eksklusifnya ke ERAA.

  2. Margin of Safety:
    Valuasi saham ERAA saat ini (berdasarkan kinerja yang sedang tertekan) memberi ruang bagi investor jangka panjang. Dengan margin laba bersih yang turun 30% YoY di 3Q25, potensi rebound di 4Q25 bisa memberi upside surprise.

  3. Predictability:
    Pola bisnis ERAA sangat siklikal, tapi bisa ditebak:

    • Q3 biasanya lemah (karena diskon).

    • Q4 melonjak (karena peluncuran flagship).

    • Q1 turun lagi (efek pasca liburan).
      Pola ini konsisten dari tahun ke tahun, membuat proyeksi kas dan stok mudah dimodelkan.


⚖️ Risiko yang Perlu Diwaspadai

  1. Daya beli menengah belum pulih.
    Segmen ponsel di harga Rp3–5 juta masih mengalami tekanan karena inflasi dan cicilan tinggi.

  2. Margin tipis dari ekspansi otomotif.
    Xpeng menarik dari sisi diversifikasi, tapi masih dalam tahap awal dan belum tentu memberi margin besar.

  3. Tekanan biaya (opex).
    Dengan opex naik 23% YoY, ERAA harus memastikan efisiensi berjalan, atau margin bisa tergerus meski pendapatan naik.


🧭 Kesimpulan: ERAA Sedang Bertransformasi, Bukan Sekadar Bertahan

Kalau kamu lihat dari kacamata jangka pendek, laporan 3Q25 mungkin terlihat lemah. Laba turun, margin tertekan, dan biaya meningkat. Tapi kalau kamu melihat seperti Buffett — berpikir jangka panjang — ERAA sedang berada di fase transformasi strategis.

  • Dari retailer ponsel menjadi distributor teknologi gaya hidup.

  • Dari sekadar menjual volume menjadi mengejar nilai tinggi per transaksi (premiumisation).

  • Dari bisnis margin stabil, menuju bisnis dengan potensi leverage lebih besar melalui produk-produk high-end.

Dengan peluncuran iPhone 17 yang lebih cepat, kontribusi Xpeng yang mulai terasa, dan kekuatan brand premium, ERAA masih punya pondasi bisnis yang solid untuk tumbuh di 2026 dan seterusnya.

Dan jika iPhone Fold benar-benar meluncur tahun depan, ERAA mungkin sedang memegang kunci ke “revolusi premium” berikutnya di pasar gadget Indonesia.


Catatan Data:

  • Sumber data: estimasi analis 3Q25F dan 4Q25F, laporan internal ERAA, IDC, Counterpoint Research (2025).

  • Semua angka pertumbuhan, margin, dan proyeksi berdasarkan prakiraan analis yang relevan pada periode 2025F–2026F.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan edukasi dan informasi. Bukan merupakan rekomendasi beli atau jual saham ERAA. Investor diharapkan melakukan riset mandiri sesuai profil risiko masing-masing.