Analisa Saham SOLA Fundamental dan Keuangannya

Bayangkan suatu hari Indonesia bukan hanya dikenal sebagai penghasil batu bara, tapi juga sebagai pionir teknologi bersih yang mampu menangkap emisi karbon dan menyimpannya jauh di bawah tanah. Sebuah visi yang dulu terasa jauh, kini mulai tampak nyata — salah satunya lewat langkah strategis PT Xolare RCR Energy, Tbk (kode saham: SOLA).

Perusahaan energi terbarukan asal Indonesia ini baru saja meneken kemitraan eksklusif dengan Apolpo LLC, perusahaan Amerika Serikat yang bergerak di bidang strategi iklim dan solusi karbon. Mereka sepakat untuk mengembangkan proyek besar bernama CCUS — singkatan dari Carbon Capture, Utilization, and Storage.

Lalu, kenapa langkah ini penting? Dan seberapa besar peluangnya buat masa depan XOLARE dan investor ritel seperti kamu?

Yuk, kita bedah satu per satu. Tapi sebelum ke angka-angka, kita kenalan dulu dengan siapa itu XOLARE dan mengapa Apolpo mau gandeng mereka.


Profil Singkat PT Xolare RCR Energy, Tbk (SOLA)

XOLARE adalah perusahaan terbuka yang fokus pada pengembangan infrastruktur energi terbarukan dan berkelanjutan di Indonesia. Berdiri dengan visi mendukung transisi energi hijau, XOLARE terlibat dalam berbagai proyek mulai dari pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), hingga infrastruktur pendukung seperti penyimpanan energi dan sistem jaringan.

Perusahaan ini dikenal cukup agresif dalam mengejar peluang-peluang yang sejalan dengan agenda dekarbonisasi nasional dan global. Kerja sama dengan Apolpo adalah bukti keseriusan mereka untuk naik kelas — dari pemain lokal menjadi pemain regional atau bahkan global dalam industri solusi iklim.


Apa Itu CCUS dan Kenapa Penting?

Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) adalah teknologi yang menangkap karbon dioksida (CO₂) dari sumber emisi besar (seperti pembangkit listrik dan pabrik industri), lalu menyimpannya agar tidak lepas ke atmosfer — atau menggunakannya kembali untuk tujuan industri tertentu.

Dengan kata lain, teknologi ini memungkinkan industri tetap berjalan sambil mengurangi dampak terhadap perubahan iklim.

🔍 Potensi Pasar CCUS

Menurut riset pasar internasional, nilai pasar global CCUS diperkirakan akan menyentuh angka USD 17,5 miliar pada tahun 2030. Angka ini akan terus naik seiring dengan pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 19%. Ini bukan angka kecil, dan menjadi indikasi kuat bahwa teknologi ini akan jadi industri masa depan.

Di Indonesia sendiri, potensi investasi CCUS diperkirakan mencapai lebih dari USD 3 miliar hingga tahun 2035. Estimasi ini tercantum dalam Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), dan telah dikaji oleh lembaga sekelas IEA (International Energy Agency) serta Bank Dunia.

Dengan Indonesia memiliki potensi penyimpanan geologi yang sangat luas (terutama di wilayah cekungan minyak dan gas), maka negeri ini sangat strategis untuk menjadi pusat CCUS di Asia Tenggara.


Isi Perjanjian SOLA x Apolpo

Melalui perjanjian eksklusif jangka panjang, PT Xolare RCR Energy, Tbk akan:

  • Menjadi perwakilan eksklusif Apolpo LLC di Indonesia

  • Merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan proyek CCUS di sektor-sektor strategis, seperti energi, manufaktur, dan industri berat

  • Bertanggung jawab penuh terhadap identifikasi sumber emisi, pemetaan lokasi penyimpanan karbon, dan pembangunan infrastruktur pendukung seperti transportasi karbon

Ini artinya, SOLA tidak hanya akan bertindak sebagai penghubung teknologi, tapi juga sebagai pemilik proyek strategis berskala nasional. Bahkan, mereka menyebut akan membangun pusat keunggulan CCUS serta menjajaki integrasi dengan pasar kredit karbon.

📊 Kinerja Keuangan SOLA per Maret 2025: Tumbuh Tipis, tapi Tetap Bertahan Kuat

Sebelum terlalu euforia dengan proyek CCUS bersama Apolpo LLC, penting untuk melihat kondisi keuangan XOLARE saat ini. Apakah cukup solid untuk mengeksekusi proyek besar seperti itu?

Mari kita telisik datanya satu per satu dari laporan keuangan tidak diaudit per 31 Maret 2025:

1. Pendapatan Naik 59%

SOLA mencatat pendapatan sebesar Rp14,95 miliar pada kuartal I-2025, naik signifikan dari Rp9,38 miliar di kuartal I-2024. Kenaikan ini menunjukkan bahwa aktivitas usaha SOLA makin agresif, dan ini selaras dengan positioning mereka sebagai perusahaan infrastruktur energi yang ekspansif.

⚠️ Pertumbuhan ini setara dengan kenaikan +59,3% YoY, yang cukup impresif di tengah banyaknya perusahaan energi yang stagnan karena transisi kebijakan.

2. Laba Kotor Naik 67%

Dengan pendapatan naik dan efisiensi pada beban pokok penjualan, laba kotor SOLA naik menjadi Rp5,79 miliar, dari sebelumnya hanya Rp3,47 miliar. Margin laba kotor pun naik dari 37% menjadi 38,7%.

Ini sinyal positif bahwa perusahaan bisa menjaga efisiensi meski skala operasinya membesar.

3. Laba Bersih Berbalik Positif

Salah satu highlight paling menarik dari laporan ini adalah keberhasilan SOLA mencetak laba bersih sebesar Rp109,89 juta — padahal tahun sebelumnya masih merugi Rp818 juta.

📌 Bahkan laba bersih yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk mencapai Rp113,45 juta.

Ini mungkin terdengar kecil secara nominal, tapi perubahannya besar: dari rugi ke untung. Artinya, arah manajemen SOLA sudah menuju titik yang benar.

4. Total Aset Stabil di Rp184 Miliar

Aset SOLA per 31 Maret 2025 tercatat Rp184,74 miliar, tidak banyak berubah dari posisi Desember 2024 sebesar Rp184,51 miliar. Komposisi aset juga semakin solid dengan adanya peningkatan aset tetap dari Rp49,78 miliar menjadi Rp66,84 miliar — naik hampir Rp17 miliar.

Ini menunjukkan perusahaan memang sedang melakukan investasi jangka panjang, kemungkinan besar untuk mendukung proyek-proyek energi seperti CCUS.

5. Liabilitas Masih Terkendali

Total liabilitas SOLA berada di Rp34,82 miliar, relatif stabil dari sebelumnya Rp34,72 miliar. Utang bank jangka pendek mencapai Rp22,03 miliar, sedangkan utang konsumen naik menjadi Rp6,11 miliar.

Dari sini kita bisa simpulkan bahwa struktur permodalan SOLA masih cukup konservatif, dengan DER (Debt to Equity Ratio) sekitar 0,23x, masih dalam batas sehat untuk perusahaan infrastruktur energi yang sedang tumbuh.

6. Kas dan Setara Kas Turun, Tapi Masih Cukup

Saldo kas turun dari Rp25,29 miliar ke Rp19,89 miliar. Penurunan ini disebabkan oleh:

  • Investasi pada aset tetap sebesar Rp18,27 miliar

  • Uang muka investasi sebesar Rp6 miliar

Namun, ada juga arus masuk dari aktivitas pendanaan seperti:

  • Pencairan pinjaman bank: Rp11,03 miliar

  • Setoran MESOP: Rp97,5 juta

Ini menunjukkan perusahaan sedang mempersiapkan infrastruktur proyek dan butuh modal kerja aktif.


🔍 Analisa Singkat: Seberapa Siap SOLA Eksekusi Proyek CCUS?

Dari laporan keuangan tersebut, kita bisa tarik kesimpulan berikut:

  1. Perusahaan sedang dalam fase investasi aktif – terbukti dari meningkatnya aset tetap dan uang muka investasi

  2. Pendapatan dan laba mulai menunjukkan tren positif, walau masih kecil nominalnya

  3. Struktur modal tergolong konservatif – ruang ekspansi utang masih terbuka

  4. Arus kas operasi positif sebesar Rp13,08 miliar, artinya bisnis inti menghasilkan uang

Semua ini adalah sinyal bahwa SOLA sedang “mengisi bahan bakar” untuk lepas landas. Dan kerja sama dengan Apolpo menjadi “landasan pacu” yang tepat.

Kenapa Apolpo Tertarik Masuk ke Indonesia Lewat SOLA?

Dalam pernyataan resmi, Dr. Joel B. Carboni selaku Principal dari Apolpo LLC mengatakan:

"Dengan potensi penyimpanan geologi yang melimpah dan arah kebijakan yang kuat, Indonesia sangat strategis untuk menjadi pusat CCUS di Asia Tenggara. Kemitraan kami dengan Xolare adalah langkah konkret untuk mewujudkannya."

Pernyataan ini cukup tegas: Apolpo melihat Indonesia bukan sekadar pasar, tapi sebagai hub teknologi karbon yang memiliki daya saing tinggi.

Dan SOLA adalah mitra yang dipercaya untuk mengeksekusinya. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Kemungkinan besar karena posisi SOLA yang sudah punya rekam jejak infrastruktur energi, serta keterlibatannya dalam agenda transisi energi nasional.


Dampaknya bagi Investor dan Masa Depan Saham SOLA

Sekarang kita masuk ke pertanyaan paling penting: "Apa dampak dari kerja sama ini terhadap valuasi dan prospek saham SOLA?"

1. Potensi Pendapatan Baru

Dengan masuk ke industri CCUS, SOLA punya potensi menambah sumber pendapatan baru — tidak hanya dari proyek EBT, tapi juga dari:

  • Proyek penyimpanan karbon industri besar

  • Infrastruktur transportasi karbon

  • Potensi revenue dari pasar kredit karbon

2. Valuasi Jangka Panjang

Jika SOLA berhasil mengamankan proyek-proyek percontohan, maka valuasi jangka panjang perusahaan bisa terdongkrak. Investor institusi cenderung menyukai perusahaan yang punya moat teknologi atau eksklusivitas proyek seperti ini.

3. Akses ke Investasi Global

Dengan melibatkan Apolpo sebagai mitra strategis, SOLA berpeluang mengakses jaringan investor luar negeri, termasuk dari Amerika Serikat yang saat ini sangat aktif di sektor hijau.

4. Reputasi dan Branding

SOLA berpotensi menempatkan dirinya sebagai pionir di industri CCUS — yang dalam 5–10 tahun ke depan bisa jadi akan menjadi standar keberlanjutan bagi perusahaan energi modern.


Risiko yang Perlu Diwaspadai

Tentu saja, setiap peluang datang dengan risiko. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Regulasi Pemerintah
    Proyek CCUS memerlukan koordinasi erat dengan regulator, baik dari sisi lingkungan hidup maupun energi. Jika proses birokrasi lambat, maka proyek bisa tertunda.

  2. Pendanaan
    Tahap awal proyek CCUS memerlukan investasi besar. Jika tidak diikuti dengan pendanaan memadai, maka potensi pendapatan hanya akan menjadi proyeksi di atas kertas.

  3. Penerimaan Pasar
    Pasar karbon Indonesia masih dalam tahap pengembangan. Perlu waktu untuk membuat sistem ini benar-benar komersial.

SOLA Layak Masuk Radar Investor Hijau

Langkah PT Xolare RCR Energy, Tbk menggandeng Apolpo LLC adalah bukti nyata bahwa SOLA serius ingin menjadi pemain besar di sektor dekarbonisasi. Jika proyek CCUS ini berjalan mulus, bukan tidak mungkin SOLA akan jadi benchmark perusahaan teknologi karbon di bursa Indonesia.

Untuk kamu investor yang percaya masa depan energi adalah hijau, SOLA layak masuk watchlist — dengan tetap memperhatikan manajemen risiko.


Referensi:

  • Laporan Keuangan Konsolidasian PT Xolare RCR Energy Tbk per 31 Maret 2025 yang terpublish di www.idx.co.id

  • Siaran pers Apolpo LLC dan XOLARE

  • Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), IEA, dan World Bank