Bagi banyak investor pemula, nama Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) sering kali identik dengan salah satu produk paling melekat di kehidupan sehari-hari: mie instan. Hampir setiap rumah di Indonesia pernah menyimpan stok mie instan, entah untuk kebutuhan darurat, sekadar camilan malam, atau bahkan menu utama saat kantong menipis. Tidak heran, saham ICBP kerap disebut sebagai saham defensif—alias saham yang relatif tahan badai meski kondisi ekonomi sedang goyah.
Namun, kenyataan di pasar modal tidak sesederhana mie instan yang tinggal seduh lalu siap disantap. Laporan keuangan kuartal II 2025 (2Q25) ICBP menunjukkan dinamika yang menarik: ada sisi positif yang bisa jadi kabar baik untuk investor, tapi ada juga tantangan serius yang patut diperhatikan.
Sebelum kita masuk ke detail 2Q25, jika Anda belum membaca analisa sebelumnya, ada baiknya menyimak artikel ini: Valuasi Murah, Dividen Naik, Saham ICBP Cocok Buat Investor Pemula?. Artikel tersebut membahas kondisi ICBP hingga awal 2025 yang kala itu dinilai cukup menarik bagi investor pemula.
Kini, mari kita lihat lebih dalam update terbaru.
Laba Bersih Naik 2,4 Kali Lipat, Tapi Ada Catatan Penting
ICBP melaporkan laba bersih Rp2,9 triliun pada 2Q25, melonjak 2,4x lipat YoY. Jika dihitung secara kumulatif, laba bersih semester I 2025 (1H25) mencapai Rp5,5 triliun, naik 57% YoY. Angka ini bahkan melampaui konsensus analis sebesar 54% dan cukup dekat dengan estimasi internal BNIS yang memperkirakan 49%.
Sekilas, ini terdengar sangat positif. Namun, ada faktor pendorong utama yang perlu dipahami: keuntungan selisih kurs valuta asing sebesar Rp750 miliar. Tanpa keuntungan kurs ini, justru laba inti turun 4% YoY di 2Q25 dan 1H25. Artinya, pertumbuhan laba yang terlihat mengesankan sebagian besar bersifat non-operasional, alias bukan dari bisnis inti.
Sebagai investor, penting untuk membedakan laba akuntansi dengan laba operasional riil. Laba kurs bisa membantu mempercantik laporan, tetapi tidak bisa dijadikan pegangan jangka panjang karena sifatnya fluktuatif mengikuti pergerakan nilai tukar.
Penjualan Hanya Naik Tipis, Daya Beli Melemah
Kalau kita telisik lebih dalam, pertumbuhan penjualan ICBP justru terlihat cukup lemah. Penjualan hanya naik 2% YoY pada 2Q25. Rinciannya:
Penjualan domestik stagnan.
Ekspor naik 6% YoY.
Perusahaan menjelaskan bahwa penjualan lesu karena daya beli konsumen melemah pasca Ramadan, khususnya di bulan Mei dan Juni 2025. Ini menarik, karena biasanya Ramadan adalah momen konsumsi tinggi. Namun setelah Lebaran, masyarakat cenderung menahan belanja akibat tekanan keuangan.
Secara segmental, kita bisa melihat gambaran yang lebih jelas:
In-home consumption (produk yang biasa dikonsumsi di rumah) masih tangguh: mie naik 4% YoY, makanan ringan naik 3%, bumbu makanan naik 8%.
Out-of-home consumption justru melemah: susu turun 4%, makanan siap saji (NSF) turun 9%, minuman turun 11%.
Pola ini menunjukkan bahwa masyarakat masih mengandalkan produk ICBP untuk kebutuhan pokok di rumah, tapi mulai mengurangi konsumsi produk tambahan di luar rumah.
Margin Tertekan Harga Minyak Goreng
Salah satu tantangan utama ICBP adalah margin laba yang tergerus. Pada 2Q25, Gross Profit Margin (GPM) turun menjadi 33,5%, turun 2,7% poin QoQ dan 4% poin YoY. Penyebab utama: harga minyak goreng naik 13% YoY.
Dampaknya cukup terasa pada profitabilitas:
EBIT margin menyempit menjadi 19,9% (dari 22,2% di 1Q25 dan 22,7% di 2Q24).
Segmen mie yang menjadi andalan pun margin-nya tertekan meski harga sempat naik Februari.
Produk susu juga terkena beban biaya input yang lebih tinggi.
Segmen minuman relatif stabil, tapi utilisasi pabrik melambat.
Catatan penting: bahan baku utama ICBP adalah gandum dan minyak sawit mentah (CPO). Keduanya menyumbang 40%-45% dari harga pokok produksi mie. Jadi setiap kenaikan harga bahan baku langsung menekan margin.
Prospek 2H25: Realistis atau Terlalu Optimis?
Manajemen ICBP menargetkan pertumbuhan penjualan 7%-9% sepanjang 2025. Namun, untuk mencapai target itu, penjualan 2H25 harus naik sekitar 12% YoY. Dalam kondisi daya beli yang sedang melemah, target ini terlihat cukup berat.
Bahkan dengan program bantuan sosial pemerintah di bulan Juni, dampaknya terbatas terhadap penjualan. Itu sebabnya banyak analis memperkirakan bahwa pertumbuhan 3Q25 juga masih akan lemah.
Sementara itu, harga CPO terus naik. Pada Juli 2025, harga CPO tercatat naik 4% MoM dan 2% YoY dalam mata uang ringgit Malaysia (RM). Dalam rupiah, kenaikannya bahkan lebih tajam: 13% YoY.
Biasanya, ICBP bisa melakukan passing cost alias menaikkan harga produk untuk menutupi kenaikan biaya. Tapi kali ini masalahnya ada pada daya beli masyarakat yang sedang lemah, sehingga opsi tersebut tidak bisa sepenuhnya dilakukan.
Kondisi ini membuat banyak analis merevisi proyeksi:
GPM diperkirakan turun ke 34,5% di FY2025 (dari 34,9% di 1H25).
Meski begitu, EBIT margin diproyeksikan stabil di 20%-22% karena perusahaan berhasil menekan biaya, khususnya G&A yang turun 10% YoY berkat efisiensi gaji dan CSR.
Valuasi: Murah atau Sudah Cerminkan Risiko?
Dengan semua kondisi ini, banyak broker menurunkan rekomendasi jangka pendek ICBP menjadi HOLD untuk 3 bulan (3M). Namun untuk jangka panjang 12 bulan (12M), status BUY masih dipertahankan. Alasannya sederhana: valuasi saham ICBP saat ini sudah mencerminkan pelemahan kinerja jangka pendek.
Sebagai gambaran, saham ICBP dikenal punya price-to-earnings ratio (PER) yang relatif murah dibandingkan emiten consumer goods lainnya. Dengan profitabilitas yang masih solid, neraca keuangan kuat, dan portofolio produk yang sangat defensif, valuasi ini membuat ICBP tetap menarik untuk investor jangka panjang.
Namun, investor pemula harus paham bahwa:
Dalam jangka pendek, fluktuasi harga bisa terjadi karena tekanan margin dan lemahnya daya beli.
Untuk jangka panjang, daya tahan produk mie instan dan jaringan distribusi ICBP masih menjadi moat (parit pelindung) yang sulit disaingi kompetitor.
Insight Akhir, Apakah ICBP Masih Menarik untuk Dibeli?
Mari kita rangkum analisa ini:
Laba naik signifikan 2,4x YoY di 2Q25, tapi sebagian besar karena keuntungan kurs, bukan murni operasional.
Penjualan tumbuh hanya 2% YoY, mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat pasca Ramadan.
Margin tertekan akibat kenaikan harga minyak goreng dan CPO, dengan GPM turun ke 33,5%.
Prospek 2H25 berat, target penjualan 7%-9% setahun penuh tampak sulit tercapai tanpa perbaikan daya beli.
Valuasi masih murah sehingga menarik untuk jangka panjang, meskipun jangka pendek penuh tantangan.
Bagi investor pemula, ICBP bisa diibaratkan seperti mie instan itu sendiri: selalu ada di dapur, tahan lama, dan jadi penyelamat saat kondisi mendesak. Saham ini bisa jadi bagian portofolio untuk jangka panjang, tetapi jangan kaget jika di jangka pendek harga sahamnya tidak selalu mulus.
Dengan kondisi saat ini, strategi yang bijak adalah buy on weakness—mulai mencicil beli ketika harga terkoreksi, bukan mengejar di saat harga sudah naik tinggi. Untuk investor yang sabar, ICBP masih berpotensi memberikan imbal hasil menarik seiring pemulihan daya beli masyarakat Indonesia.
Disclaimer: Artikel ini dibuat untuk tujuan edukasi dan analisis berdasarkan data publik yang tersedia. Bukan merupakan ajakan membeli atau menjual saham tertentu. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca setelah mempertimbangkan profil risiko masing-masing.
0Komentar