Menjelang Keputusan BI Rate Oktober 2025 - Rupiah Melemah, Pasar Tunggu Arah Suku Bunga

Ketika memasuki pekan ketiga Oktober 2025, perhatian pasar finansial kembali tertuju ke satu hal: keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI). Hari ini, Rapat Dewan Gubernur (RDG) resmi dimulai, dan hasilnya akan diumumkan besok. Meski agenda ini rutin, dampaknya terhadap rupiah, IHSG, dan arah kebijakan ekonomi nasional selalu besar—karena keputusan BI bukan sekadar angka, tapi sinyal arah ekonomi Indonesia ke depan.

1. Ekspektasi Pasar: Arah ke Pelonggaran

Berdasarkan survei Bloomberg terhadap 34 analis dan ekonom, median proyeksi BI Rate Oktober 2025 berada di 4,5%, turun 25 basis poin (bps) dari posisi sebelumnya 4,75%. Artinya, mayoritas pelaku pasar memperkirakan BI akan kembali melanjutkan tren pelonggaran moneter.

Bagi kamu yang baru belajar investasi, penurunan suku bunga acuan berarti BI ingin mendorong aktivitas ekonomi dengan membuat biaya pinjaman lebih murah. Bank bisa menurunkan bunga kredit, bisnis lebih mudah berekspansi, dan konsumsi masyarakat berpotensi meningkat. Secara teori, langkah ini memperkuat pertumbuhan ekonomi—meski di sisi lain, bisa menekan nilai tukar rupiah karena aliran modal asing cenderung mencari imbal hasil lebih tinggi di negara lain.

Dan di sinilah dilema BI berada: menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas rupiah.

2. Jejak Kebijakan Sepanjang 2025

Sejak awal tahun hingga September 2025, BI sudah menurunkan suku bunga sebanyak lima kali dengan total pemangkasan 125 basis poin. Dari sekitar 6,0% di awal tahun, kini suku bunga acuan BI berada di kisaran 4,75%. Ini menjadikan BI sebagai salah satu bank sentral paling agresif di kawasan ASEAN dalam melonggarkan kebijakan moneternya.

Langkah itu diambil bukan tanpa alasan. Ekonomi global sedang melambat, sementara tekanan geopolitik dan harga komoditas yang fluktuatif membuat ekspor Indonesia menurun. Dalam kondisi seperti ini, BI berusaha menstimulasi pertumbuhan domestik lewat jalur konsumsi dan investasi. Dengan bunga lebih rendah, diharapkan pelaku usaha lebih percaya diri untuk memperluas bisnis, dan masyarakat lebih terdorong untuk berbelanja maupun mengambil kredit.

Namun, agresivitas pelonggaran juga membawa risiko tersendiri—yakni pelemahan rupiah.

3. Rupiah di Bawah Tekanan: Tantangan Terbesar BI

Grafik dari Bloomberg dan Bank Indonesia menunjukkan dengan jelas: nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat melemah hingga sekitar Rp16.576 per dolar di pertengahan Oktober 2025. Meskipun BI sudah menurunkan bunga cukup dalam, rupiah belum menemukan keseimbangan yang stabil.

Kamu bisa lihat di grafik: sejak akhir 2022, BI Rate sempat naik hingga di atas 6% untuk meredam tekanan inflasi global dan menjaga arus modal asing. Tapi setelah kondisi inflasi mulai terkendali dan pertumbuhan ekonomi melambat, BI memutuskan untuk berbalik arah—menurunkan suku bunga bertahap sejak awal 2024.

Namun rupiah masih sulit menguat. Kenapa? Karena faktor eksternal masih dominan:

  • The Fed belum menurunkan suku bunganya secara signifikan. Yield obligasi AS masih tinggi, membuat dana asing lebih tertarik menempatkan modal di aset dolar.

  • Defisit transaksi berjalan melebar. Impor barang konsumsi meningkat sementara ekspor menurun, menekan cadangan devisa.

  • Ketidakpastian geopolitik. Ketegangan global dan pelemahan yuan Tiongkok turut menekan mata uang emerging markets, termasuk rupiah.

BI berada di posisi sulit: jika terlalu agresif menurunkan bunga, rupiah bisa melemah lebih dalam dan menimbulkan tekanan inflasi. Tapi jika menahan bunga terlalu tinggi, pertumbuhan ekonomi bisa melambat.

4. “Rupiah Stability Is BI’s Primary Objective”

Kalimat pada grafik—“Rupiah Stability Is BI’s Primary Objective”—bukan sekadar slogan. Itu menggambarkan prioritas utama Bank Indonesia: menjaga kestabilan nilai tukar. Karena di negara berkembang seperti Indonesia, stabilitas rupiah adalah fondasi kepercayaan pasar dan investor.

Setiap pelemahan rupiah 1% saja bisa berdampak besar pada inflasi, utang luar negeri, hingga neraca perdagangan. BI menyadari hal ini, sehingga kebijakan suku bunga mereka selalu mempertimbangkan dampak terhadap kurs.

Ketika suku bunga turun, nilai tukar rupiah seringkali melemah karena investor asing mengalihkan dana ke negara dengan bunga lebih tinggi. Namun, BI menyeimbangkan efek ini lewat intervensi di pasar valas dan obligasi, serta menjaga koordinasi erat dengan pemerintah untuk memastikan defisit fiskal tetap terkendali.

5. Bagaimana Dampaknya ke IHSG?

Bagi investor saham, keputusan BI besok punya makna besar. Ada dua skenario utama:

a. Jika BI Menurunkan Suku Bunga ke 4,5%

Sentimen pasar kemungkinan positif.

  • Sektor perbankan akan diuntungkan karena penurunan biaya dana (cost of fund) bisa memperlebar margin bunga bersih (NIM).

  • Sektor properti juga cenderung bergairah karena bunga KPR lebih rendah bisa menarik minat beli rumah.

  • Sektor konsumsi akan ikut terdorong karena daya beli masyarakat meningkat.

Secara historis, IHSG seringkali menguat dalam beberapa pekan setelah BI memangkas suku bunga, karena pasar membaca itu sebagai sinyal dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi.

b. Jika BI Menahan di 4,75%

Artinya BI ingin melihat stabilitas rupiah terlebih dahulu sebelum melanjutkan pelonggaran. Dalam skenario ini, IHSG kemungkinan bergerak sideways karena investor menunggu arah kebijakan The Fed dan perkembangan global lain.

Namun, keputusan untuk menahan suku bunga bukan berarti negatif. Justru bisa dibaca sebagai bentuk kehati-hatian BI agar rupiah tidak melemah terlalu dalam. Pasar akan menilai positif jika langkah itu membuat stabilitas makro tetap terjaga.

6. Mengapa BI Lebih Dulu Longgar Dibanding The Fed?

Kebijakan BI yang lebih cepat melonggarkan dibanding bank sentral AS mungkin membuat banyak orang bertanya: “Apakah ini berisiko?” Jawabannya tergantung pada konteks ekonomi domestik.

The Fed masih menahan bunga tinggi karena inflasi di AS belum turun ke target 2%. Sementara di Indonesia, inflasi sudah cukup terkendali di kisaran 2,8% (yoy) per September 2025. Ini memberi ruang bagi BI untuk menurunkan bunga tanpa takut inflasi melonjak.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mulai melambat ke 4,9% di kuartal II 2025 membuat BI perlu menjaga momentum. Tanpa stimulus moneter, konsumsi rumah tangga dan investasi bisa lesu, sementara ekspor belum pulih. Jadi meski rupiah agak tertekan, BI memilih langkah “terukur”—melonggarkan sambil tetap menjaga stabilitas nilai tukar lewat operasi moneter dan koordinasi fiskal.

7. Perspektif Investor: Apa yang Perlu Diperhatikan?

Bagi kamu yang berinvestasi di saham, obligasi, atau reksa dana, keputusan RDG kali ini penting untuk menentukan strategi ke depan.

  • Jika BI Rate turun: potensi capital gain di saham perbankan dan properti meningkat. Obligasi pemerintah juga berpotensi naik karena yield akan turun.

  • Jika BI Rate tetap: fokus akan kembali ke arah The Fed dan nilai tukar. Investor mungkin menahan posisi sementara hingga ada kejelasan global.

Namun yang paling penting adalah memahami konteks besar: BI sedang menjalankan kebijakan pro-growth di tengah dunia yang masih penuh ketidakpastian. Maka strategi investasi yang seimbang—tidak hanya mengejar return jangka pendek tapi juga menjaga risiko mata uang—menjadi kunci.

8. Insight Akhir: Menyeimbangkan Dua Dunia

Kebijakan moneter memang seperti berjalan di tali tipis. Terlalu longgar, rupiah bisa jatuh. Terlalu ketat, pertumbuhan bisa tertahan. Dan di sinilah keahlian Bank Indonesia diuji: menjaga agar ekonomi tetap tumbuh tanpa kehilangan stabilitas.

Dengan rupiah masih di kisaran Rp16.500 per dolar dan suku bunga 4,75%, BI punya ruang terbatas namun tetap strategis. Jika keputusan besok adalah pemangkasan 25 bps ke 4,5%, itu menunjukkan keyakinan bahwa inflasi cukup terkendali dan risiko eksternal masih dalam batas aman. Tapi jika dipertahankan, itu bukan tanda kekhawatiran—melainkan langkah bijak untuk memberi waktu pada rupiah agar stabil lebih dulu.

Apapun hasilnya, pasar akan menilai berdasarkan satu hal: konsistensi BI menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan stabilitas. Karena pada akhirnya, itulah esensi kebijakan moneter—membuat ekonomi tumbuh tanpa kehilangan arah.


Sumber data: Bank Indonesia, Bloomberg, RDG BI Oktober 2025.