Setelah sempat menjadi bintang di lantai bursa karena lonjakan harga spektakuler, saham PT Diamond Citra Propertindo Tbk (DADA) kini kembali mencuri perhatian — tapi kali ini bukan karena reli, melainkan karena kejatuhan tajam yang memicu tanda tanya besar di kalangan investor.
📉 Dari Puncak ke Jurang: Empat Hari ARB Beruntun
Pada perdagangan Rabu (13 Oktober 2025), saham DADA ambruk 14,41% ke Rp95 per saham, tepat di batas auto rejection bawah (ARB).
Data Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat nilai transaksi harian mencapai Rp2,12 miliar, sementara antrean jual di kolom offer menumpuk hingga 7,76 juta lot di harga ARB — nilainya setara Rp73,69 miliar.
Dengan harga tersebut, kapitalisasi pasar DADA kini menyusut menjadi Rp705,9 miliar.
Koreksi ini bukan hal sepele. DADA sudah mengalami ARB empat hari berturut-turut, hanya berselang beberapa hari setelah saham ini sempat melonjak tajam ke Rp240 per saham pada Jumat (10/10), usai keluar dari papan pemantauan khusus (Full Call Auction/FCA).
📊 Dari Papan FCA ke Kenaikan 1.000% — dan Kembali Jatuh
Masuknya DADA ke papan FCA bukan tanpa sebab. BEI menempatkan saham ini di papan tersebut karena:
-
Harga rata-rata saham di pasar reguler berada di bawah Rp51.
-
Nilai transaksi harian sangat kecil — rata-rata kurang dari Rp5 juta dengan volume di bawah 10.000 saham dalam tiga bulan terakhir.
Kondisi itu terjadi sejak akhir 2021, dan makin berat setelah aturan baru bursa berlaku pada akhir 2023, yang membuat saham-saham “penny stock” makin tertekan. Bahkan, pada Maret–April 2024, DADA sempat menyentuh titik terendah di Rp4 per unit.
Namun, kejutan datang pada Agustus 2025. Harga saham DADA tiba-tiba bangkit, melonjak hingga Rp240 dalam waktu singkat — atau naik lebih dari 1.000% dalam setahun.
Kenaikan ekstrem ini tak lepas dari derasnya rumor pasar dan euforia investor ritel.
⚠️ Analis: “Ada Pola yang Tak Wajar”
Analis pasar modal Michael Yeoh menilai pergerakan saham DADA perlu dicermati dengan hati-hati.
“Investor perlu melihat aspek fundamental serta strategi pemegang saham pengendali (PSP) dalam setiap lonjakan harga,” ujar Michael (15/10/2025).
Berdasarkan data broker summary, ia menemukan adanya aktivitas besar dari salah satu broker yang diduga terkait pihak pengendali.
“Terlihat ada broker yang keluar dalam jumlah signifikan, kemungkinan besar merupakan pihak yang berkaitan dengan PSP,” tambahnya.
Pandangan senada disampaikan oleh William Hartanto, Founder WH Project, yang menilai pergerakan harga DADA menunjukkan indikasi “pump and dump” alias pola pompom saham.
“Pola perdagangannya mengarah ke pump and dump, meski distribusi sahamnya tak terlalu besar,” jelas William (13/10/2025).
💣 Rumor Bombastis dan Kepemilikan yang Menyusut
Istilah pump and dump merujuk pada praktik manipulasi harga saham — di mana sekelompok pihak menaikkan harga lewat euforia dan rumor positif, lalu melepas sahamnya saat minat investor ritel memuncak.
William menambahkan, tekanan jual makin kuat setelah data menunjukkan adanya penurunan kepemilikan dari pemegang saham utama.
“Data pengurangan posisi oleh owner memicu panic selling, dan itu bisa jadi sinyal akhir dari tren kenaikan DADA,” katanya.
Berdasarkan data BEI, PT Karya Permata Inovasi Indonesia, pemegang saham pengendali DADA, tercatat aktif menjual saham sepanjang Juli–Agustus 2025.
Antara awal Agustus hingga 13 Oktober 2025, perusahaan ini melakukan 20 kali aksi jual saham DADA, sehingga kepemilikan mereka turun dari 4,90 miliar lembar (65,96%) menjadi 4,21 miliar lembar (56,62%).
Menariknya, meskipun rajin melepas saham, Karya Permata juga sempat membeli kembali sebagian kecil saham di tengah tekanan jual — misalnya pada 10 dan 13 Oktober 2025. Langkah ini terbilang tidak lazim bagi seorang PSP yang tengah mengurangi porsi kepemilikannya.
💬 Target Harga Fantastis Rp230.000? “Abaikan Saja”
Rumor makin liar setelah beredar kabar bahwa harga DADA akan naik ke Rp230.000 per saham, konon karena masuknya investor asing besar seperti Vanguard Group dari Amerika Serikat dan investor asal Jepang.
Namun William menegaskan rumor ini tidak masuk akal.
“Target Rp230 ribu itu sebaiknya diabaikan. Kalau benar ada informasi sebesar itu, tidak mungkin bocor ke publik lebih dulu,” tegasnya.
🏢 Respons Manajemen: Tak Ada Informasi Material
Menanggapi gejolak sahamnya, manajemen DADA melalui keterbukaan informasi 30 September 2025 menegaskan bahwa tidak ada informasi atau fakta material baru yang dapat mempengaruhi harga saham.
Pihak perusahaan menyatakan tidak mengetahui adanya perubahan kepemilikan signifikan maupun kejadian yang dapat memengaruhi keputusan investasi investor, sesuai ketentuan POJK No. 31/POJK.04/2015 dan Peraturan I-E BEI.
DADA menegaskan aktivitas perdagangan yang terjadi sepenuhnya merupakan mekanisme pasar, bukan akibat dari aksi korporasi atau rencana bisnis tertentu.
🏗️ Fokus Operasional Tetap Berjalan
Meski volatilitas harga tinggi, secara operasional perusahaan tetap menjalankan kegiatan bisnisnya.
Manajemen menyebut sedang fokus pada serah terima unit proyek Apple 3 serta pembukaan area komersial Plaza Convill, yang diharapkan mendorong pertumbuhan kinerja ke depan.
Selain itu, hasil RUPS dan Public Expose (4 September 2025) mengungkap bahwa pemegang saham utama berencana mengevaluasi kepemilikan saham dalam tiga bulan ke depan, sebagai bagian dari strategi penataan struktur kepemilikan.
🧭 Catatan Pareto Saham
Kasus DADA menjadi cerminan betapa tingginya risiko pada saham berkapitalisasi kecil dengan likuiditas tipis, terutama saat diselimuti rumor dan euforia jangka pendek.
Lonjakan harga 1.000% bisa terlihat menggoda, tetapi tanpa dukungan fundamental dan transparansi, potensi risiko kejatuhan pun sama besarnya.
Investor sebaiknya tidak hanya terpaku pada pergerakan harga, tapi juga memahami pola perdagangan, struktur kepemilikan, dan rekam jejak PSP.
Karena di pasar modal, tidak semua yang naik karena prospek — sebagian bisa jadi hanya karena “digoreng”.
Disclaimer: Artikel ini bersifat informatif dan tidak merupakan rekomendasi beli atau jual.
Keputusan investasi sepenuhnya berada di tangan investor.
Sumber data:
Bursa Efek Indonesia (BEI), KSEI, keterbukaan informasi DADA, dan wawancara analis pasar modal.
0Komentar