10 Saham Perbankan undervalue berdasarkan PBV Terkini vs 5 tahun terakhir

Bayangkan di mejamu terbentang sebuah tabel sederhana.
Ada sepuluh nama bank besar dan menengah di Indonesia — dari BBCA, BBRI, hingga BBTN dan BBYB.
Di samping tiap nama, ada sederet angka: PBV saat ini, PBV rata-rata lima tahun terakhir, selisih atau “gap” antara keduanya, lalu angka ROE (Return on Equity) dan PER (Price to Earnings Ratio).

Sekilas tabel itu seperti peta kecil dunia perbankan Indonesia. Beberapa bank tampak bersinar — PBV-nya tinggi, ROE-nya gemuk, dan valuasinya masih premium.
Sebagian lain tampak muram, PBV-nya jauh di bawah satu kali nilai buku.
Sebagian lagi justru mengundang rasa penasaran: gap antara valuasi sekarang dan historisnya begitu lebar, seolah ada cerita yang belum selesai.

Dan di sinilah sering muncul pertanyaan klasik dari banyak investor pemula:
“Kalau PBV-nya rendah, apakah artinya saham bank itu murah?”
Atau sebaliknya, “Apakah PBV tinggi otomatis artinya saham itu mahal?”

Tulisan ini akan membantu kamu membaca tabel itu pelan-pelan.
Pareto Saham akan memandu dengan logika, pengandaian, dan data, agar kamu memahami bukan hanya angka, tapi cerita di balik angka.
Kita akan tetap netral — tidak mendorong untuk beli atau jual — tapi membantu kamu berpikir seperti investor yang berpengalaman.


Apa Itu PBV dan Mengapa Penting untuk Bank

PBV (Price-to-Book Value) adalah rasio yang membandingkan harga pasar saham dengan nilai bukunya (ekuitas per saham).
Untuk sektor perbankan, PBV menjadi ukuran yang paling sering digunakan karena struktur neraca bank relatif lebih jelas: aset, kewajiban, dan modalnya bisa diukur lebih objektif dibanding perusahaan berbasis aset tak berwujud (seperti teknologi atau media).

Secara sederhana:

  • PBV > 1 artinya pasar menilai bank itu lebih berharga daripada nilai bukunya. Biasanya ini karena bank punya reputasi kuat, manajemen solid, dan ROE tinggi.

  • PBV = 1 berarti pasar menganggap harga sahamnya sepadan dengan nilai buku — wajar jika ROE-nya sekitar rata-rata industri.

  • PBV < 1 berarti harga sahamnya di bawah nilai buku, yang bisa berarti peluang emas jika pasar terlalu pesimis, atau justru sinyal bahaya jika penurunan itu mencerminkan masalah mendasar.

Kuncinya adalah konteks.
PBV rendah tidak selalu murah, dan PBV tinggi tidak selalu mahal.
Karena pada akhirnya, angka itu hanyalah hasil dari persepsi pasar terhadap kemampuan bank menghasilkan laba (ROE) di masa depan.


Sekilas Data: Peta PBV dan ROE Bank 2025

Berikut adalah rangkuman data utama yang jadi dasar pembahasan:

Tabel PBV 10 Perbankan undervalue PBV Vs 5 Tahun terakhir

Data Tebel diatas menunjukkan dua hal menarik:

  1. Hampir semua bank mengalami penurunan valuasi dari rata-rata lima tahun terakhir (lihat kolom “GAP”).

  2. Beberapa bank masih mempertahankan PBV tinggi karena kinerjanya memang solid.

Membaca PBV Lewat Logika dan Pengandaian

Bayangkan kamu sedang memilih antara dua bank fiktif:

  • Bank A punya PBV 0.5x dan ROE 9%.

  • Bank B punya PBV 0.5x juga, tapi ROE-nya cuma 5%.

Keduanya sama-sama “murah” secara PBV, tapi Bank A menghasilkan laba lebih baik dari modalnya dibanding Bank B.
Kalau kamu investor, tentu kamu akan lebih tertarik pada Bank A — karena harga “murahnya” masih didukung oleh efisiensi dan profitabilitas yang sehat.

Inilah kunci membaca PBV: PBV rendah baru menarik kalau ROE-nya cukup tinggi untuk membenarkan harga itu.

Sementara kalau ROE rendah dan tren laba menurun, PBV 0.4x pun bisa jadi jebakan (value trap).
Murah di atas kertas, tapi nilai bukunya terus tergerus karena kinerja buruk.


Analisa Per Kelompok Bank: Dari Premium hingga Value Play

Agar mudah dibaca, mari kita bagi 10 bank ini menjadi empat kelompok.


1. Premium Class — BBCA dan BBRI

BBCA (PBV 3.71x, ROE 21%)
BBCA tetap jadi “benchmark” di sektor perbankan Indonesia.
PBV-nya yang tinggi bukan tanpa alasan — ROE di atas 20% menunjukkan efisiensi luar biasa, NIM (margin bunga bersih) stabil, dan CASA ratio sangat tinggi.
Gap PBV-nya -21% dari rata-rata historis, artinya valuasinya memang turun, tapi pasar masih memberi premi karena kualitas bisnisnya konsisten.

BBRI (PBV 1.83x, ROE 18%)
Sebagai bank dengan fokus mikro, BBRI juga punya moat (keunggulan kompetitif) kuat.
PBV-nya hampir setengah BBCA, tapi ROE-nya masih tinggi. Koreksi valuasi -25% dari historis memberi ruang bagi investor jangka panjang yang mencari kombinasi pertumbuhan dan dividen stabil.

Kesimpulan:
BBCA dan BBRI seperti “mobil Eropa” di pasar otomotif — mahal, tapi karena performanya terbukti.
Investor membayar premi bukan karena euforia, tapi karena stabilitas dan keandalan jangka panjang.


2. Mid-Tier Solid — MEGA, BTPS, BJTM

MEGA (PBV 1.73x, ROE 13%)
Menarik karena profitabilitasnya masih bagus dan valuasinya tidak terlalu mahal.
Bank ini dikenal efisien dan punya segmen korporasi yang kuat. Jika kredit tumbuh, ada ruang untuk rerating PBV.

BTPS (PBV 1.11x, ROE 12%)
BTPS adalah Bank Syariah dengan basis mikro ini PBV-nya hanya sedikit di atas nilai buku. ROE-nya sehat, namun gap historis -31% menunjukkan pasar masih hati-hati terhadap pertumbuhan pembiayaan mikro.

BJTM (PBV 0.63x, ROE 11%)
Bank daerah yang underrated. PBV rendah bisa jadi peluang, apalagi ROE-nya masih dua digit. Tapi investor harus menilai keterbatasan ekspansi geografis yang bisa menahan pertumbuhan jangka panjang.

Kesimpulan:
Ketiga bank ini bisa disebut “value with performance”.
Secara analogi, mereka seperti mobil Jepang — tidak se-premium BBCA, tapi irit, tahan lama, dan efisien.
Bagi investor yang ingin mencari keseimbangan antara valuasi dan profit, kelompok ini layak diperhatikan.


3. Deep Value Plays — BBTN, BJBR, BNII, PNBN

BBTN (PBV 0.49x, ROE 9%, PER 5.2x)
Salah satu PBV terendah di sektor perbankan.
Tapi kita harus ingat: BBTN banyak berhubungan dengan kredit pemilikan rumah (KPR) dan proyek pemerintah.
PBV rendah bisa jadi peluang jika sektor properti pulih, namun jika kualitas kredit menurun, nilai buku bisa tergerus.

BJBR (PBV 0.50x, ROE 7%)
Bank daerah lain dengan valuasi murah. Tapi rendahnya ROE membuat pasar ragu untuk rerating cepat.

BNII dan PNBN (PBV sekitar 0.45–0.5x, ROE 5%)
Dua bank ini mencerminkan pasar yang skeptis terhadap prospek pertumbuhan laba.
PBV di bawah 0.6 menunjukkan diskon besar, tapi kalau ROE tetap rendah, wajar valuasinya stagnan.

Kesimpulan:
Kelompok ini seperti rumah tua di pinggir kota.
Murah, tapi perlu renovasi besar.
Kalau ada tanda-tanda perbaikan kinerja (ROE naik, NPL turun), potensi kenaikan valuasi bisa signifikan.
Namun jika tidak, “murah” itu hanya ilusi harga.


4. BBYB (Bank Neo) — Kasus Unik

BBYB (PBV 1.35x, PBV 5Y 4.20x, Gap -68%, ROE 8%)
Penurunan PBV-nya luar biasa besar — dari 4.2x ke 1.35x dalam lima tahun.
Ini bisa jadi cermin dari euforia masa lalu yang mulai realistis.
ROE 8% tidak buruk, tapi juga belum cukup tinggi untuk mendukung valuasi premium.
Investor perlu menggali alasan di balik perubahan ini: apakah strategi digitalnya mulai jenuh? Apakah profitabilitas berkurang karena beban teknologi tinggi?


PBV dan ROE: Hubungan yang Logis

Coba bayangkan begini:
Kamu ingin investasi di bank yang bisa memberikan imbal hasil 10% per tahun.
Kalau ada bank yang punya ROE 20%, kamu tentu rela membayar lebih dari nilai bukunya — karena laba yang dihasilkan dua kali lipat dari target imbal hasilmu.
Sebaliknya, kalau ROE bank cuma 5%, wajar kalau kamu hanya mau beli di harga setengah dari nilai bukunya (PBV 0.5x).

Itulah logika sederhana mengapa PBV biasanya berkorelasi dengan ROE.
Semakin tinggi ROE dibanding “required return” investor, semakin tinggi pula PBV-nya.

Namun tentu kenyataannya tidak sesederhana itu.
Faktor seperti pertumbuhan laba (growth), efisiensi biaya (OPEX/Income), dan stabilitas margin bunga (NIM) ikut menentukan apakah PBV wajar atau berlebihan.


GAP PBV vs PBV 5Y: Mengapa Ini Penting

Selisih atau “gap” antara PBV saat ini dan PBV rata-rata lima tahun terakhir memberi petunjuk perubahan persepsi pasar.

  • GAP kecil (seperti BBCA -21%) artinya persepsi pasar stabil.

  • GAP besar (seperti BBYB -68%) artinya persepsi berubah drastis — bisa karena masalah struktural atau hanya normalisasi setelah euforia.

Bayangkan kamu memiliki rumah yang dulu dihargai Rp1 miliar, tapi kini hanya Rp600 juta.
Sebelum panik, kamu tentu akan bertanya: apakah karena lingkungan memburuk (perubahan struktural), atau hanya karena pasar sedang lesu (temporer)?
Begitu pula dengan saham: penurunan PBV perlu dibaca konteksnya.


Contoh Nyata: BBTN vs BBCA

BBTN (PBV 0.49x) terlihat sangat murah dibanding BBCA (3.71x).
Namun ini seperti membandingkan dua jenis investasi berbeda:
BBTN punya potensi kenaikan besar jika ekonomi perumahan membaik, tapi juga punya risiko kredit tinggi.
BBCA stabil dan defensif, tapi peluang kenaikan harga lebih terbatas.

Analogi sederhananya:

  • BBTN seperti membeli rumah lelang — murah, tapi perlu renovasi dan penuh ketidakpastian.

  • BBCA seperti membeli apartemen premium — mahal, tapi aman dan tidak banyak risiko tersembunyi.

Pilihan tergantung pada profil risikomu sendiri.


Checklist Analisa untuk Investor Pemula

Sebelum memutuskan membeli saham bank dengan PBV rendah, pastikan kamu memeriksa hal-hal berikut:

  1. ROE tren 3–5 tahun: Apakah meningkat atau menurun?

  2. NPL (Non Performing Loan): Jika tinggi, risiko besar.

  3. Coverage Ratio (LLR/NPL): Semakin besar, semakin aman.

  4. CASA Ratio: Semakin tinggi, biaya dana semakin murah.

  5. CAR (Capital Adequacy Ratio): Modal kuat artinya ruang ekspansi besar.

  6. Katalis bisnis: Apakah ada rencana merger, efisiensi, atau digitalisasi yang bisa meningkatkan ROE?


Kesimpulan: Membaca PBV dengan Akal Sehat

Dari semua data di atas, kita bisa simpulkan secara objektif:

  • BBCA dan BBRI tetap jadi bank premium — valuasi tinggi karena kualitas terjaga.

  • MEGA, BTPS, BJTM menarik untuk investor value yang ingin profitabilitas sehat dengan harga masih masuk akal.

  • BBTN, BJBR, BNII, PNBN menawarkan potensi rebound besar, tapi dengan risiko tinggi.

  • BBYB perlu diamati lebih dalam, karena perubahan valuasinya drastis — bisa peluang, bisa peringatan.

Akhirnya, PBV hanyalah angka yang menggambarkan opini pasar hari ini.
Tugasmu sebagai investor adalah menilai apakah opini itu masuk akal terhadap kenyataan bisnisnya.

Atau meminjam kalimat klasik Warren Buffett:

“Harga adalah apa yang kamu bayar. Nilai adalah apa yang kamu dapat.”

Gunakan PBV sebagai pintu masuk, bukan sebagai penentu akhir.
Dan ingat — investasi terbaik adalah kombinasi antara data, logika, dan kesabaran.


Sumber Data

Data PBV, PBV 5Y, GAP, PER, dan ROE diambil dari publikasi terbuka Bursa Efek Indonesia (BEI), laporan keuangan emiten perbankan, serta kompilasi analisis sekunder Pareto Saham per Oktober 2025.

Disclaimer

  1. Artikel ini dibuat untuk tujuan edukasi dan analisis informasi.
  2. Bukan rekomendasi untuk membeli atau menjual efek tertentu.
  3. Setiap keputusan investasi tetap menjadi tanggung jawab pribadi investor.
  4. Pareto Saham tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat keputusan investasi berdasarkan tulisan ini.